Indonesia Tak Lagi Terapkan 'A Million Friends, Zero Enemies'

Resty Armenia | CNN Indonesia
Kamis, 05 Mar 2015 04:52 WIB
Kepemimpinan Jokowi menekankan pada doktrin poros maritim dunia dengan penegasan kedaulatan negara, termasuk penegakan hukum atas narkoba.
Presiden Joko Widodo (tengah) bersiap memberikan keterangan pada wartawan seusai membuka Rapat pimpinan (Rapim) TNI-Polri, yang dihadiri Presiden Joko Widdodo, Sejumlah Menteri Kabinet Kerja dan Jajaran Petinggi TNI-Polri, di Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, Selasa. 3 Maret 2015. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto menegaskan, saat ini Indonesia tidak lagi menggunakan diplomasi 'a million friends, zero enemies' atau sejuta kawan tak satupun musuh, seperti yang digemborkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono semasa pemerintahannya.

"Doktrin luar negeri kita tidak lagi 'a million friends, zero enemies', berubah ke poros maritim yang sangat menekan kedaulatan," ujar Andi kepada CNN Indonesia di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (4/3).

Dalam kaitannya dengan eksekusi hukuman mati, Andi menjelaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali menegaskan bahwa keputusan diambil atas dasar kedaulatan hukum yang berlaku di Indonesia. Apalagi, saat ini Indonesia dianggap memasuki masa darurat narkoba.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi kasus-kasus ini diputuskan secara hati-hati oleh Presiden dalam memutuskan permohonan grasi," kata dia.

Andi mengungkapkan, Presiden Jokowi sadar benar bahwa setiap kebijakan yang diambil pasti ada resikonya. Oleh sebab itu, ia tak khawatir jika nantinya Indonesia dijauhi oleh negara lain yang tidak setuju dengan keputusan yang diambilnya.

"Presiden tentu menimbang-nimbang hubungan baik antar negara yang terus akan dipertahankan dan juga kebutuhan Indonesia untuk menyelesaikan darurat narkoba ini," ujar dia.

Untuk itu, imbuh dia, pemerintah akan mengambil langkah antisipasi dengan cara diplomasi agar hal tersebut tidak terjadi. "Diplomasi yang menjadi penting ya," kata dia.

Ahli kebijakan strategis itu memberi contoh ketika Indonesia bersitegang dengan pemerintah Belanda menyusul eksekusi warga negara yang menjadi terpidana mati gelombang I. Pemerintah Negeri Kincir Angin itu bahkan sempat menarik kembali duta besarnya ke ibu kota, Amsterdam.

"Duta besarnya sudah kembali ke Jakarta dan kami sudah berinteraksi langsung membahas langkah-langkah ke depan," ujar dia.

Ia menyebutkan, kerja sama yang dibangun oleh Indonesia dan Belanda di antaranya, pembangunan sektor maritim dan pemberantasan narkoba. "Juga dibahas kerja sama-kerja sama konkret yang bisa dilakukan untuk memerangi kejahatan narkoba yang menjadi concern besar kita," kata dia.

Andi menyimpulkan, "jadi diplomasi yang menjadi kunci. Pasti ada ketegangan-ketegangan sejenak dengan adanya hukuman mati ini, tapi diplomasi yang menjadi andalan untuk memperbaiki hubungan antar negara." (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER