Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai belum memberikan pelayanan optimal kepada pasien gangguan jiwa. Beberapa pasien mengeluh karena tidak dapat memperoleh obat-obatan secara penuh.
Demikian diungkapkan oleh pendiri Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti. Adapun, Perhimpunan Jiwa Sehat merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam kesehatan jiwa di mana struktur manajerialnya dijalankan oleh Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK).
Yeni bercerita anggotanya yang merupakan pengidap schizophrenia dan bipolar hanya mendapatkan obat untuk dua minggu. Padahal, anggota tersebut merupakan anggota BPJS Kesehatan. Akibatnya, orang itu harus menanggung biaya obat untuk dua minggu lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ia hanya penjual nasi uduk. Akibat aturan ini, ia harus mengumpulkan uang sebesar Rp 750 ribu per bulan untuk pengobatannya," kata Yeni saat konferensi pers di ruangan pers Dewan Perwakilan Rakyat, Senayan, Jakarta Selatan, Rabu (11/3).
Bukan hanya itu, pasien juga diminta mengambil sendiri obatnya ke pusat layanan kesehatan. Padahal, banyak pasien gangguan jiwa yang keadaannya tidak memungkinkan untuk mengambil obat.
Yeni bercerita kebijakan itu baru terjadi per Januari 2015. Pada tahun lalu, obat diantar ke panti laras (tempat penampungan orang dengan gangguan jiwa) dan pasien juga mendapatkan obat secara penuh selama sebulan. "Ini terjadi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo," katanya.
Yeni mengatakan pihaknya kemudian melakukan advokasi dengan bantuan Relawan Kesehatan Diah Pitaloka. "Sekarang pasien itu sudah bisa mendapatkan obat secara penuh selama sebulan," katanya.
Ia berharap ke depannya BPJS Kesehatan tidak lagi mengeluarkan aturan yang menyulitkan pasien gangguan jiwa mendapatkan pengobatan. Begitu pula dengan rumah sakit yang menjalankan program BPJS Kesehatan.
"Bayangkan bila penderita gangguan jiwa yang sudah parah harus mengambil obatnya ke RS. Pada zaman Jamkesda, pengambilan obat boleh diwakilkan," katanya.
(utd)