Jakarta, CNN Indonesia -- Puluhan organisasi penyandang disabilitas Indonesia mendatangi Kejaksaan Agung. Mereka mendesak pembatalan vonis mati terpidana asal Brazil, Rodrigo Gularte.
"Kami datang menyerahkan petisi puluhan organisasi penyandang disabilitas Indonesia. Kami sudah mempelajari rekam medis Rodrigo, sejak 1996 dia telah mengidap gangguan jiwa," kata Yeni Rosa Damayanti, ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, di Kejagung, Jakarta, Jumat (6/3).
Dia beralasan, menurut pasal 44 KUHAP, penyandang gangguan jiwa tidak boleh dipidana. "Tapi dia malah divonis mati. Ini yang kami pertanyakan."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, dia datang menyerahkan petisi yang telah ditandatangani 31 organisasi dari seluruh Indonesia untuk membatalkan vonis Gularte.
Aktivis tersebut mengaku mempunyai bukti-bukti yang menunjukkan Gularte mengidap gangguan jiwa. Menurutnya, keluarga telah mengirimkan bukti catatan medis bahwa terpidana menderita gangguan jiwa sejak 1996.
Namun, ketika ditanyai apakah bukti-bukti itu sudah diserahkan sebagai alat bukti di persidangan, dia mengaku tidak tahu.
"Saat itu tahun 2004, kami belum mengikuti kasusnya. Tapi seharusnya sudah diserahkan oleh pengacaranya," kata Yeni.
Pada 18 Februari, sepupu Gularte, Angelita Muxfeldt, mendatangi Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan tim dari LBH Masyarakat.
Mereka mempertanyakan keputusan pemerintah untuk menerapkan eksekusi mati kepada Gularte yang divonis mengidap gangguan jiwa Skizofrenia dan Bipolar dari beberapa rumah sakit di Cilacap, Jawa Tengah.
Ricky Yudhistira dari LBH Masyarakat mengatakan pada CNN Indonesia, Gularte telah mengidap Skizofrenia sejak usia 16 tahun.
Ketika pemerintah mengatakan Gularte tidak alami gangguan kejiwaan saat ditangkap kepolisian, Ricky mengatakan kalau Skizofrenia adalah kondisi penyakit yang kambuh secara berkala. "Mungkin saat ditangkap itu penyakitnya sedang tidak kambuh."
(utd)