Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivis demokrasi sekaligus politikus Partai Gerindra Haryanto Taslam meninggalkan pesan terakhir di penghujung hayatnya terkait pengusutan penculikan aktivis reformasi Mei 1998. Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Desmond Junaidi Mahesa menilai wasiat tersebut menjadi pengingat bagi pemerintah untuk segera mencari dalang di balik peristiwa yang memakan korban jiwa belasan aktivis tersebut.
"Pak Haryanto Taslam sudah betul. Ini sebagai pengingat,
trigger, dan wasiat yang mengingatkan kita. Ini yang harus dilakukan," ujar Desmond ketika dihubungi CNN Indonesia, Minggu (15/3).
Dalam wasiat tersebut, Taslam menuturkan keinginannya untuk meminta Prabowo Subianto yang saat itu menjadi Komandan Jenderal Kopassus untuk mengusut aktor intelektual peristiwa tersebut. Sepakat, Desmond pun mengamininya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada hantu, tidak jelas siapa sebenarnya yang bertanggung jawab? Banyak fitnah ke Pak Prabowo Subianto. Ini salah satu proses yang Pak Prabowo ingin lakukan," katanya.
Lebih jauh, Desmond menuturkan wasiat tersebut tak sekadar ditujukan kepada Prabowo, namun juga kepada seluruh bangsa, termasuk anggota legislatif.
"Dengan adanya surat Pak Taslam, ini trigger mempercepat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) pada masa yang akan datang, untuk menjadi prioritas," ujarnya.
Jalan Panjang Komisi KebenaranDesmond berpendapat, Badan Legislasi dapat mengajukan RUU KKR sebagai prioritas dengan memberikan kesempatan kepada pemerintah selaku pengusul UU.
"Kalau ada KKR, kebenaran akan terungkap," katanya. Oleh karena itu, Desmond mendesak adanya pengesahan RUU tersebut.
"Pembahasan harus dilakukan agar ada kesempatan mengklarifikasi. Ini kan berkaitan dengan pelanggaran HAM," ucapnya.
Sebelumnya, UU KKR dimatikan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2011. MK memutuskan Pasal 2 dan 3 undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Tujuan dan asas pembentukan KKR pun dinilai tak memiliki kepastian hukum.
Melalui pembahasan dan pengesahan RUU KKR dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, KKR dapat menjadi alternatif pengusutan kasus pelanggaran HAM berat lantaran pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc mandeg bertahun-tahun.
Macetnya pembentukan pengadilan tersebut tidak dapat dibentuk lantaran nihilnya dasar hukum yang mengatur. Dasar hukum tersebut berupa Keputusan Presiden yang sebelumnya direkomendasikan oleh DPR.
Kini, upaya melalui Pengadilan HAM kembali terbuka. RUU tentang Perubahan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM masuk kembali dalam Prolegnas.
"UU Pengadilan HAM juga akan kita dorong. Juga tentang peradilan militer," katanya.
Selama ini, menurut Desmond, ada ketimpangan dalam penyelesaian kasus kejahatan tindak pidana oleh anggota TNI. "Hari ini ada ketimpangan, tentara yang melakukan kejahatan non militer, diadili di militer. Misal dia berantem, membunuh,dan lainnya. Itu tidak benar," ucapnya.
Untuk itu, Komisi Hukum DPR juga turut mendesak adanya kesetaraan hukum dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat yang tak tertangani. Sederetan pengusutan kasus HAM yang masih mandeg di antaranya Talangsari, Trisakti, G30S, Malari, dan pembunuhan pegiat HAM Munir.
(gen)