Remisi Koruptor, BW: Pendapat Menkumham Kurang Benar

Ranny Virginia Utami | CNN Indonesia
Kamis, 19 Mar 2015 05:43 WIB
Bambang Widjojanto (BW) meragukan wacana remisi koruptor sudah memiliki kajian hukum yang jelas.
Ketua KPK Abraham Samad (kanan) bersama Wakil Ketua Bambang Widjojanto memberikan keterangan terkait penetapan tersangka calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (13/1). (ANTARA /Wahyu Putro)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pimpinan nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto (BW) meragukan wacana pemberian remisi kepada narapidana korupsi yang diusulkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sudah memiliki kajian hukum yang jelas.

"Saya khawatir ini political statement yang tidak berbasis kepada kajian yang ujungnya apa mau membangun efek deteren atau tidak," ujar Bambang di Jakarta, Rabu (18/3).

Menurut pendiri KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) ini, menkumham perlu merumuskan basis penentuan penegakan hukum Indonesia terlebih dulu dalam tindak pidana korupsi, apakah termasuk kategori kejahatan luar biasa atau tidak, sebelum mengeluarkan kebijakan baru.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau iya, apa sanksinya juga akan luar biasa? Itu dulu," ujar Bambang.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mempertanyakan usulan KPK yang menyarankan napi korupsi bukan berstatus whistle blower tidak berhak mendapatkan remisi sebagaimana hak yang tertuang dalam undang-undang.

KPK berdalih sebagai pelaksana fungsi supervisi terhadap lembaga-lembaga negara lain, ia berhak memberikan pandangan tersebut sebelum Menkumham merevisi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Prinsip Dasar Pemberian Remisi.

Melihat hal tersebut, Yasonna berpendapat semua lembaga penegak hukum negara harus melihat kembali tugas dan kewenangan masing-masing tanpa melibatkan diri dalam kewenangan lembaga lain.

"KPK bisa menuntut, bisa menyidik, dan pengadilan memutuskan. Pembinaan itu kewenangan ada pada Kemenkumham. Pengadilan sudah mendengar pertimbangan KPK, pertimbangan terdakwa, jadi dalam pikiran hakim sudah jelas. Jangan melompat terlalu jauh," ujar Yasonna, Senin (16/3).

Namun, Bambang berpandangan pernyataan Menkumham kurang dapat dibenarkan. "Ini seolah-olah lembaga hukum dipetakan. Ini kewenangan si A dan A yang memutuskan, semua harus ikut. Tidak boleh begitu," ujar Bambang.

Oleh karena itu, Bambang mengatakan perlu adanya komunikasi yang baik antara Kemenkumham dengan lembaga penegak hukum lain, terutama dalam menentukan kebijakan pemberian remisi terhadap narapidana korupsi.

"Kalau diskusi sudah selesai, baru diumumkan. Jadi, harus dilihat teks per teks, kasus per kasus. Tidak ditarik satu kesimpulan umum kemudian menjadi kebijakan," ujar Bambang.

Di sisi lain, Kemenkumham memastikan akan terus membuka komunikasi dengan seluruh lembaga terkait untuk mencari solusi mengenai pemberian remisi bagi para napi, termasuk kemungkinan membuka kesempatan bagi pihak di luar Kemenkumham untuk ikut menjadi tim penilai dalam mempertimbangkan pemberian remisi.

Seperti diberitakan, Yasonna berwacana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Prinsip Dasar Pemberian Remisi. Untuk memuluskan wacananya, Yasonna menggelar diskusi beberapa waktu lalu yang mengundang KPK dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Namun baik KPK maupun ICW tak menghadiri undangan diskusi tersebut. Pelaksana Tugas (Plt) Pimpinan KPK Johan Budi Sapto Pribowo mengatakan, tak sependapat jika ada wacana memberi remisi bagi koruptor.

Menurut Johan, Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 telah memberlakukan pengetatan remisi bagi pelaku tindak pidana berat, seperti korupsi, terorisme, dan pengedaran narkoba. (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER