Akbar Tanjung Akui Ical Ilegal di Mata Pemerintah

Hafizd Mukti | CNN Indonesia
Sabtu, 28 Mar 2015 09:01 WIB
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar kubu Ical, Akbar Tanjung menyadari pasca putusan Menkumham, pemerintah melihat legalitas Golkar di tangan Agung Laksono.
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung mengunjungi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (7/1) sore. (CNN Indonesia/Resty Armenia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie, Akbar Tanjung menyadari jika saat ini Partai Golkar pimpinan Agung Laksono lah yang diakui legalitasnya oleh pemerintah. Hal itu mau tidak mau harus diterima kubu Ical pasca keluarnya putusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly yang melegalkan kepengurusan Agung.

"Dengan keluarnya putusan Menkumhan, di mata pemerintah ya Agung lah yang legas," kata Akbar saat berbincang dengan CNN Indonesia, Jumat (27/3).

Meski demikian, Akbar berharap Agung bisa menunggu semua proses hingga benar-benar selesai, khususnya menyangkut proses hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, terkait gugatan legalitas Musyawarah Nasional Golkar di Ancol. Tak hanya itu, masih ada gugatan lain yang menyangkut pelaporan Yasonna ke Bareskrim Polri menyoal surat putusan yang ia keluarkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tunggu lah proses pengadilan yang ada, tunggu gugatan di PTUN termasuk tunggu putusan hukum Menkumham (di Bareskrim) yang masih berjalan," ujarnya.

Mengenai kader-kader loyalis Ical yang kini menyebrang ke kubu Agung Laksono, Akbar menyadari hal itu tidak bisa dilarang. Namun, sebaiknya kader-kader pun menunggu putusan yang akhir atau ikrah sebeluh berubah haluan.

"Ini yang sabar saja jangan cepat-cepat juga, tapi tidak bisa juga melarang mereka untuk memilih Agung. Seharusnya Agung bersabar, ini negara hukum."

Perdamaian, kata Akbar, sempat dibicarakan antara dirinya dengan Ical. Namun, Ical mengatakan saat itu, solusi yang sempat berkembang soal munas bersama dianggap bukan solusi terbaik, hingga akhirnya memilih jalan hukum. Ical beralasan, penyelenggaraan munas memakan waktu yang lama saat persiapannya dan berbiaya tinggiu.

"Ical pernah bicara munas bersama bukan solusi. Waktu lama dan dana besar," ungkap Akbar.

Namun, Akbar memiliki hitung-hitungan soal penyelenggaraan munas jika dilakukan hanya untuk pemilihan ketua umum, tidaklah begitu besar, hanya berada dikisaran Rp 5 sampai Rp 10 miliar. (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER