Hukum Lembek, Ansyaad: Indonesia Bisa Jadi Penampung Teroris

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Selasa, 31 Mar 2015 16:00 WIB
Hukum di Indonesia dinilai terlalu banyak memberikan keleluasan bagi para teroris, hanya bisa menjerat pihak yang sudah terbukti melakukan teror.
Pengamat terorisme yang juga mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror Ansyaad Mbai saat menghadiri acara International Conference on Terrorism and ISIS, Jakarta, Selasa, 23 Maret 2015. CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat terorisme Ansyaad Mbai menilai hukum di Indonesia terlalu banyak memberikan keleluasan untuk para teroris. Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) itu mempersoalkan tidak adanya hukum yang dapat menjerat otak para teroris.

Menurutnya, di luar pihak radikalis yang melakukan teror, ada juga radikalis yang tidak terlibat langsung dalam aksi teror. Pihak tersebut bekerja dengan memberikan paham-paham sesat kepada para pelaku sehingga melakukan aksi-aksi teror. (Lihat Fokus: Kontroversi Pemblokiran Situs Islam)

Di dunia internasional, menurutnya, hukum sudah sedemikian rupa diatur agar para otak radikalisme itu juga dapat dijerat hukum. Sementara di Indonesia, hukum hanya bisa menjerat pihak yang sudah terbukti melakukan aktivitas teror.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


"Hukum di luar keras sementara di Indonesia lembek. Siap-siap saja Indonesia jadi negara penampung teroris," ujar Ansyaad di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (31/3). Bahkan, menurutnya, kini Indonesia sudah dicap sebagai negara pengekspor teroris.

Jika otak radikalisme ini tidak ditindak, menurut Ansyaad, terorisme akan terus berkembang. Jika hanya ditindak pelakunya saja, nama dan bentuk organisasinya mungkin akan berubah, tapi pahamnya akan tetap sama. "Ini harus diselesaikan dari sumber utamanya, yaitu orang yang membaiat, yang menanam kebencian," ujarnya.

Untuk menyelesaikan permasalahan ini diperlukan peraturan baru yang dapat menjerat para otak teroris. Belakangan ini memang kebutuhan akan peraturan tersebut sudah disampaikan oleh berbagai pihak.

Keterlambatan Intelijen 

Kepala BNPT Saud Usman Nasution, misalnya, menyerukan kebutuhan akan peraturan baru untuk menindak terduga teroris. Ia menyampaikan kondisi di lapangan selama ini penegak hukum dan intel dinilai sering terlambat mengantisipasi persebaran ideologi ISIS. Padahal menurut Usman, pihaknya sudah melakukan banyak hal hanya saja para simpatisan ISIS tidak bisa dijerat hukum karena memang tidak ada aturan hukum yang berlaku.

"Tahun lalu ada unjuk rasa mendukung ISIS tapi kami mau apa? Ini negara hukum, kalau tidak ada pelanggaran hukum mau ditindak apa," kata Saud.

Saud mengatakan, ada beberapa undang-undang yang harus segera direvisi. Di antaranya adalah UU No 9 tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Aturan ini dinilai memberi peluang kepada siapa saja untuk menyampaikan pendapat apapun termasuk paham radikal tanpa batas-batas yang jelas.

"Kalau orang mengatakan dia ISIS tidak ada larangannya. Yang dilarang adalah siapa saja yang menghambat penyampaian aspirasi itu," ujarnya.

Selain itu UU No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan juga dipandang masih memiliki celah hukum. Yang diatur dalam UU ini hanya ormas yang terdaftar sementara yang tidak terdaftar tidak dapat dilakukan penindakan.

Namun meski demikian, Wakil Presiden Jusuf Kalla justru menilai revisi Undang-Undang belum diperlukan. "Cukup undang-undang yang ada saja, teroris kan itu selama dia berbuat jahat ya siapa saja itu harus dihukum. Tidak perlu pakai perppu untuk itu, tapi undang-undang antiteroris kita sudah cukup," kata JK di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis lalu. (sip)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER