Pengamat: ISIS Sebuah Negara Minus Pengakuan Dunia

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Selasa, 31 Mar 2015 16:04 WIB
Pengamat terorisme Asnyaad Mbai menyebut akibat bentuknya sebagai sebuah negara banyak kelompok teroris di Indonesia berafiliasi dengannya.
Ilustrasi ISIS (CNN Indonesia/ Laudy Gracivia)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat terorisme menilai ISIS atau Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) merupakan sebuah negara minus pengakuan internasional yang berupaya menciptakan kepemimpinan versinya sendiri. Akibat bentuknya yang riil sebagai negara, kelompok teroris di Indonesia kemudian banyak yang berafiliasi dengannya.

Hal tersebut disampaikan oleh pengamat terorisme yang juga mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai ditemui di Mabes Polri, Selasa (31/3).

"ISIS punya wilayah, punya rakyat walau banyak yang tinggal di wilayah itu karena terjebak dan juga punya kekuatan militer yang bahkan lebih kuat ketimbang militer Irak. ISIS adalah negara riil," ujar Ansyaad di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (31/3).

Sementara kelompok teroris di Indonesia mempunyai visi yang sama, yakni mendirikan khilafah. Sayangnya, kelompok ini terus menerus mengalami kegagalan karena kepolisian selalu berhasil menindak terduga teroris sebelum mereka beraksi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ansyaad menilai kegagalan yang konstan itu menjadi dasar bagi kelompok teroris di Indonesia untuk berafiliasi dengan ISIS. "Karena pola pikir mereka sama, bedanya ISIS lebih berhasil," kata dia.

Lebih jauh lagi, Ansyaad menilai perkembangan ISIS di Indonesia berakar pada paham radikalisme. Oleh karena itu, untuk dapat menanggulangi bahaya ISIS, perlu dipahami radikalisme dan terorisme itu sendiri.

"Pemerintah harus pahami radikalisme dan terorisme. Radikalisme punya dua anak, yaitu radikalisme teroris dan radikalisme non teroris," kata Ansyaad.

Dia menilai yang selama ini membahayakan dengan aksi-aksi teror adalah radikalisme terorisme. Lebih bahaya lagi, saat ini batasan antara dua anak radikalisme itu menjadi kabur. Dengan demikian, sulit untuk menghentikan aksi terorisme karena ada pihak radikal non teroris yang memengaruhi untuk melakukan radikalisme teroris.

"Undang-Undang sudah cukup banyak, tapi baru bisa digunakan untuk menindak yang melakukan tindak pidana. Tidak ada yang bisa menindak pihak yang pertama mengkafirkan," ujar Ansyaad.

Radikalisme, menurutnya, selalu berasal dari tindakan pengkafiran. "Kalau ini dibiarkan, akan terus muncul dan muncul lagi yang baru."

Pada dasarnya, radikalisme adalah paham yang dianut orang atau kelompok yang mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran agama. Oleh karena itu, para radikal merasa mempunyai otoritas untuk menghukum pihak yang menganut paham berbeda darinya.

Di Indonesia, menurut Ansyaad, radikalisme sebenarnya bukan cerita baru. "ISIS tidak bisa dikatakan murni impor, sebenarnya bisa ditelusuri sejarahnya sudah ada sejak 60 tahunan lebih."

Perkembangan paham ini di Indonesia, menurutnya, berawal dari Negara Islam Indonesia (NII). "Mereka merasa sebagai representasi Islam yang sebenarnya, meluruskan yang lain dengan cara jihad."

Namun, cara jihadnya, adalah jihad menurut versi mereka sendiri. Ansyaad mencontohkan Jihad yang dilakukan ISIS seperti memenggal, membakar dan merampok pihak yang tidak sepaham.

"Masalahnya sekarang adalah apa pemerintah mau tindakan seperti itu ada di Indonesia? Mau dibiarkan? Atau mau ditindak?" kata Ansyaad. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER