Jakarta, CNN Indonesia -- Penyelesaian atas korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat tidak menjadi prioritas dalam penegakkan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, hak dari korban pelanggaran HAM berat seringkali terbengkalai.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai mengatakan persoalan pemenuhan hak atas korban pelanggaran HAM berat menjadi pekerjaan rumah tangga bangsa Indonesia.
"Namun, mengacu UU 13/2006 jo UU 31/2014, LPSK diberi kewenangan dalam mengupayakan pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban kejahatan," kata AH Semendawai melalui pernyataan yang diterima CNN Indonesia, Kamis (2/4).
Mengacu kepada UU tersebut LPSK mendapat kewenangan dalam mengupayakan pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban kejahatan. Khusus bagi korban kasus pelanggaran HAM berat, kata Semendawai, akan mendapatkan bantuan medis, psikologis dan psikososial berdasarkan rekomendasi Komnas HAM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bantuan serupa juga diberikan kepada korban tindak pidana yang berpotensi sebagai saksi dan akan memberikan keterangan, baik dalam proses penyelidikan sampai pengadilan," ujar dia.
Berdasarkan keterangan dari situs Kemendagri, yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat adalah genosida atau tindakan penghancuran dan pemusnahan sebagain atau seluruh kelompok terkait SARA, kejahatan terhadap kemanusiaan seperti diantaranya pembunuhan, perbudakan, deportasi, perbudakan seksual, kehamilan paksa, sterilisasi paksa dan penculikan atau penghilangan paksa atas seseorang dan kejahatan perang berupa pembunuhan disengaja, penyiksaan tidak manusiawi, penyiksaan yang menyebabkan rasa sakit luar biasa, dan pengrusakan tanpa dasar hukum yang jelas.
AH Semendawai mengatakan LPSK juga akan mengganti kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat tersebut sesuai dengan pasal 7 UU 13 tahun 2006. Sementara itu, kata Semendawai, hak atas restitusi atau ganti kerugian menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
"Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi ini akan ditetapkan oleh pengadilan," kata Semendawai.
Berdasarkan data dari LPSK, Pada awal 2015, lembaga tersebut telah merilis jumlah permohonan yang masuk pada 2014, di mana sepanjang tahun lalu terdapat 1.074 permohonan perlindungan. Dari jumlah itu, sebanyak 981 permohonan telah dibahas dalam Rapat Paripurna LPSK. Hasilnya, sebanyak 685 permohonan diterima dan sisanya 296 kasus ditolak. Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Barat menjadi asal pemohon yang paling mendominasi.
Khusus kasus pelanggaran HAM berat, datang dari pemohon korban pelanggaran HAM tahun 1965. Kasus pelanggaran HAM menjadi yang terbanyak dengan 644 laporan, disusul trafficking 144 laporan, korupsi 43 laporan, kekerasan dalam rumah tangga 3 laporan, tindak pidana pencucian uang 1 laporan dan pidana umum 210 laporan, yang terdiri dari kasus individu, pemerkosaan, kekerasan kolektif dan aparat.
(utd)