Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menegaskan 22 situs yang diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika bukan produk jurnalistik. Alhasil, Dewan Pers tak dapat melindungi situs-situs tersebut sesuai payung hukum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pers.
"Hampir semua media tidak pernah terdaftar di Dewan Pers. Beberapa mungkin pernah didaftarkan, beberapa juga pernah dilaporkan," ujar pria yang akrab disapa Stanley ini saat mengisi diskusi di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jakarta, Minggu (5/4). Menurutnya bahkan ada situs yang dilaporkan karena dinilai melanggar kode etik.
Situs yang pernah dilaporkan melakukan pelanggaran etik antara lain VOA Islam. "VOA-islam dilaporkan tidak mengetahui kode etik. Ketika diadu ke Dewan Pers, Dewan Pers mengadu kalau ini bukan UU Pers (yang dilanggar)," ujarnya. Selain VOA Islam, sejumlah situs juga pernah dilaporkan. Namun, Dewan Pers bersikukuh mereka bukan produk jurnalistik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Oleh karena itu bukan tugas pokok Dewan Pers, maka diserahkan ke polisi," katanya menegaskan.
Sebelumnya, Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) merekomendasikan pemblokiran situs islam berdasarkan surat Nomror 149/K.BNPT/3/2015 tentang Situs/Website Radikal ke dalam sistem filtering Kemkominfo. Berdasarkan laporan tersebut dan sesuai dengan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 soal penanganan situs internet bermuatan negatif, maka Kominfo pun memblokir situs yang diajukan. Merujuk Pasal 1 Permen tersebut, pemblokiran situs adalah upaya yang dilakukan agar situs internet bermuatan negatif tidak dapat diakses.
Atas dasar pemblokiran, sejumlah pemred telah menemui Dewan Pers sebelumnya. Namun, upaya mereka tersendat lantaran nihilnya administrasi situs mereka dalam daftar media di Dewan Pers. "Ada masalah adiminstrasi waktu tu jadi tidak jadi mengajukan," ujar Mahladi. (Lihat fokus:
Kontroversi Pemblokiran Situs Islam)
(sur)