Jakarta, CNN Indonesia -- Waktu eksekusi mati Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Siti Zaenab tidak diketahui baik oleh pengacara yang bersangkutan ataupun pemerintah Indonesia. Hal tersebut lantas menjadi pertanyaan mengapa tidak ada satupun perwakilan dari Indonesia yang tahu pasti kapan tepatnya eksekusi Siti berlangsung.
Ketua Umum Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra) Poempida Hidayatullah mengatakan eksekusi mati Siti mesti menjadi cermin perbaikan bagi mekanisme perlindungan TKI secara total.
"Mulai dari persiapan, proses penempatan dan saat penempatan harus dilakukan dengan strategi perlidungan ganda, yakni terlindungi hukum dan mental," kata mantan tim pengawas TKI tersebut ke CNN Indonesia, Rabu (15/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih jauh lagi, dia juga mengatakan jika secara mental TKI kuat maka akan memberikan ketahanan tersendiri bagi TKI untuk menghadapi tekanan yang dihadapinya.
"Jelas ini menjadi basis perlindungan tersendiri bagi si TKI. Sehingga, dia dapat terhindar dari berbagai potensi masalah hukum yang senantiasa terjadi," ujar dia.
Sementara itu, dia mengatakan perlindungan hukum dapat dilakukan dengan menggunakan tim kuasa hukum yang benar peduli dalam melakukan pembelaan. "Aneh kalau pengacara Siti kemudian tidak tahu kapan jadwal eksekusi mati."
Menurutnya, dalam kasus eksekusi mati, semua pengacara yang mendampingi kasus kliennya, pasti akan mendapatkan pemberitahuan waktu eksekusi mati. Alasannya, karena, pertimbangan mesti diambil oleh pengacara setelah mendengar keputusan dari pihak pengadilan negara bersangkutan.
Oleh karena itu, dia menilai KBRI Riyadh mesti mempelajari dan mengevaluasi peran pengacara Siti ataupun TKI terpidana mati lainnya di Arab Saudi. "Jangan sampai pengacara yang sama tetap dipakai dan melakukan pembelaan tidak maksimal."
Siti Zaenab merupakan seorang TKI asal Bangkalan, Jawa Timur, yang bekerja di Arab Saudi sejak 7 Maret 1998. Siti kemudian divonis hukuman mati qishash oleh Pengadilan Madinah pada 8 Januari 2001 karena kasus pembunuhan atas istri pengguna jasanya, Nourah binti Abdullah Duhem Al Maruba, yang terjadi pada 1999.
Hukuman mati qishah dilaksanakan apabila terdakwa tidak mendapatkan pengampunan dari ahli waris korban. Pada 2013, setelah dinyatakan akil baligh, ahli waris korban, Walid bin Abdullah bin Muhsin Al Ahmadi, putra bungsu korban, menolak permohonan maaf Siti dan tetap menuntut pelaksanaan hukuman mati.
Kemudian, Siti dieksekusi pada Selasa (14/4) kemarin tepatnya pukul 10.00 WIB. Kabar kematian Siti disampaikan oleh Kementerian Luar Negeri melalui pernyataan tertulis kepada media.
(utd)