Jakarta, CNN Indonesia -- Satu pesawat tempur F-16 dengan nomor ekor TS-1643 gagal terbang dan terbakar di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (16/4). Sebelum terbakar ketika hendak lepas landas, pesawat mengalami dua ledakan. Insiden ini disebut TNI bukan terjadi karena faktor kesalahan manusia atau pilot, melainkan akibat faktor teknis.
Kecelakaan tersebut menuai kritik dari anggota Komisi I DPR Mayor Jenderal Purnawirawan Tubagus Hasanuddin. Politikus PDIP yang pada periode lalu menjadi pimpinan Komisi I dan ikut dalam rapat-rapat pembahasan pengadaan alat utama sistem senjata untuk TNI AU itu mengatakan, sejak awal ia tak setuju dengan pilihan pemerintah menerima hibah F-16 dari pemerintah.
Dari gambar-gambar F-16 yang terbakar di Halim itu, ujar Hasanuddin, jelas terlihat pesawat itu tak lagi baru. “Nomor ekor pesawatnya memang baru. Berarti F-16 itu pengadaan terbaru, tapi sesungguhnya sudah rongsok, lalu diperbaiki kemudian dijual ke RI,” kata dia di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasanuddin menceritakan kembali kisah di balik pengadaan F-16 tersebut. Saat itu dia menjadi Wakil Ketua Komisi I, dan mengaku telah mati-matian berjuang agar pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono membeli F-16 yang baru saja.
Dengan dana US$ 650 juta yang disiapkan pemerintah RI saat itu, ujar Hasanuddin, Indonesia memang hanya dapat membeli enam unit F-16 lengkap dengan persenjataannya. Sementara pilihan lain, Indonesia dapat membeli 24 pesawat F-16 rekondisi –bekas dan tidak dioperasikan lagi, namun dapat diperbaiki dan disempurnakan kembali (
upgrade).
“Waktu itu KSAU-nya Pak Imam Sufaat. Dia tidak setuju membeli F-16 yang baru dengan alasan hanya dapat sedikit. Jadi menurutnya mending beli yang bekas karena bisa dapat 24,” kata Hasanuddin.
Pesawat-pesawat bekas yang ditawarkan AS untuk dihibahkan ke Indonesia –namun dengan biaya
upgrade– ialah F-16 Blok 25. Sementara jenis baru yang lebih dipilih Hasanuddin ialah F-16 Blok 60.
“Di wilayah Asia, F-16 Blok 60 itu paling bagus. Dapat enam unit dengan persenjataan. Kalau tanpa senjata, bisa delapan unit. Itu sudah oke, tapi malah pilih yang bekas,” ujar mantan perwira tinggi TNI AD itu.
Belakangan ternyata pemerintah Indonesia bahkan harus membayar lebih mahal dari angka yang sebelumnya disepakati untuk membeli pesawat tempur F-16 rekondisi. “Untuk 24 pesawat bekas yang hendak di-
upgrade itu, US$ 650 juta tak cukup, naik melambung jadi US$ 800 juta. Karena kontrak sudah diteken, terpaksa kita bayar itu,” kata Hasanuddin, kesal.
Oleh sebab itu pasca insiden terbakarnya F-16 di Halim hari ini, Hasanuddin meminta TNI AU untuk menginvestigasi seluruh F-16 milik AS hasil hibah AS tersebut yang berjumlah 24 pesawat. Apalagi, ujarnya, dari armada F-16 yang dikirim ke Indonesia pada 2014, ada dua di antaranya yang telah retak.
Sementara terkait F-16 yang terbakar, menurut Hasanuddin, sesungguhnya pesawat tersebut dalam kecepatan tinggi ada parasut pengerem. “Tapi ternyata itu tidak terpasang,” kata dia.
Maka daripada membahayakan pilot, ujar Hasanuddin, lebih baik seluruh F-16 bekas milik RI itu –baik yang sudah tiba di Indonesia maupun sebagian masih di AS– dicek ulang secara menyeluruh.
Simak selengkapnya di FOKUS:
Pesawat F-16 Terbakar di HalimSecara terpisah, Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna beberapa saat setelah insiden terjadi mengatakan F-16 itu memang produksi lama tahun 1980-an. “Jadi kalau mau beli pesawat, sebaiknya yang baru,” ujarnya.
(agk)