Jakarta, CNN Indonesia -- “Saya tak bisa berenang”
Pernyataan itu mengagetkan. Ternyata Bambang yang hampir dua tahun melaut bersama kapal Rich 01 di Samudera Atlantik dekat Afrika, adalah orang yang tak pandai berenang. Jangankan untuk berenang, kata Bambang yang cengengesan saat ditemui CNN Indonesia, “mengapung saja saya gak bisa.”
Bambang memang bukan pelaut. Ia mengaku sebagai makelar jual beli motor di kampungnya Tegal, sebelum berlayar dan diperbudak di atas kapal. Bayangannya saat ia berangkat dari kampung halamannya, April 2010, ia akan bekerja sebagai pekerja bangunan atau pelayan di restoran. “Setahu saya, tak ada orang Indonesia yang saya temui punya dasar pelaut,” katanya.
(Baca juga: Cerita Para Budak Indonesia di Atas Kapal Neraka)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari cerita Bambang, nyaris semua rekan yang sama bernasib buntung dengan dirinya memiliki beragam profesi. Dari mulai tukang ojek hingga ada yang sebelumnya berprofesi guru bantu. Ini artinya, perusahan perekrut yang memberangkatkan mereka ke tengah laut tak peduli dengan uji kompetensi bagi para pelaut. Padahal pelaut merupakan sebuah profesi yang menuntut keahlian super spesifik. “Rata-rata kami baru tahu bahwa kami akan dibawa berlayar ketika sudah sampai kapal tujuan, sebelumnya mimpinya indah bekerja di luar negeri,” katanya.
Teman satu angkatan Bambang di Kapal Rich 01 ada tiga orang. Mereka berempat berasal dari beragam latar belakang. Dahuri, rekannya dari Pemalang sebelum berlayar dan diperbudak, dikenal sebagai penjual nasi goreng. Lantas, Johar asal Cirebon dan Sudin asal Brebes adalah seorang kuli bangunan. “Jadi kami semua kaget ketika harus menjadi anak buah kapal,” kata Bambang.
(Baca juga: Rayuan Permen Bagi Budak Indonesia di Kapal Neraka)
Setali tiga uang dengan Bambang, Imam Syafi’i yang juga korban perbudakan kapal asing, adalah seorang mantan satpam di sebuah perusahaan. Saat ditanya apakah ia punya pengalaman melaut, ia hanya menggelengkan kepala sembari tertawa. “Tahunya kerja di luar negeri itu saja,” kata Imam kepada CNN Indonesia.
Imam berangkat pada Agustus 2011. Bersama delapan orang ABK lainnya ia bekerja di Rich 07 selama dua tahun. “Dari delapan orang itu, tak ada yang sebelumnya berprofesi sebagai pelaut. Bahkan Arman teman saya dari Pemalang sebelumnya berprofesi sebagai guru honorer,” katanya. “Pokoknya semua tertipu.”
(Lihat Fokus: Budak Indonesia di Kapal Asing) Cerita getir Imam adalah saat ia berangkat bersama rekannya menuju Trinidad Tobago. Lantaran Imam dan semua temannya tak bisa berbahasa Inggris, ia celingukan dan tersesat selama delapan jam di Bandar Udara Schipol, Amsterdam, Belanda. “Kami semua tak bisa berbahasa Inggris,” ujarnya. Dia menduga, karena kendala bahasa, mereka jadi ssaran empuk perbudakan.
Misalnya, Imam dua tahun bekerja di tengah laut. Kapalnya tak pernah bersandar selama itu. Begitu pula upah US$ 180 yang menjadi haknya, tak pernah ia dapatkan. Pemilik kapal lantas menelantarkan mereka mengapung di perairan Trinidad Tobago pada 2013. Mereka akhirnya diselamatkan setelah enam bulan mengapung di tengah lautan.
Ada sekitar 262 ribu anak buah kapal warga Indonesia bekerja di luar negeri berdasarkan data Kementerian Luar Negeri yang dicatat oleh Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN). Sekitar 77% bekerja di kapal penangkap ikan, dan mereka tersebar di Asia Pasifik, Amerika Selatan dan Afrika. Sisanya melaut bersama kapal kargo (6,57%), kapal pesiar (6,80%), kapal tanker (0,68%), dan tugboat (8,84%).
(Simak Infografis: Catatan Perjalanan Para Budak Kapal Neraka) Salah satu kapal neraka yang menjalankan perbudakan terhadap abk asal Indonesia. (Dok Istimewa) |
Imam, dan sejumlah rekan mereka bekas ABK yang diberangkatkan oleh PT Karltigo, pernah memperkarakan persoalan ini. Mereka menuntut perusahaan perantara itu dan kasusnya dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Pengadilan digelar dari akhir 2013 hingga awal 2014. Di persidangan terungkap kalau perusahaan itu tak berizin untuk memberangkatkan pelaut. Bahkan, seorang saksi dari Kementerian Perhubungan dalam keterangannya di persidangan menyebutkan kalau buku pelaut yang dibawa para budak asal Indonesia itu palsu.
Cerita soal perbudakan di kapal penangkap ikan kembali mencuat setelah adanya pemberitaan soal para ABK asal Myanmar, Thailand dan Vietnam di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Bambang, Imam dan rekan-rekan anak buah kapal asal Indonesia di kapal asing juga sama terancam hidupnya.
(sip/nez)