Jakarta, CNN Indonesia -- Pemberian identitas baru bagi saksi dan korban yang berada dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih sulit direalisasikan.
Meski Pasal 5 UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur itu, pengubahan identitas bukanlah perkara mudah. Budaya masyarakat Indonesia, disebut jadi penghambat utamanya.
Wakil Ketua LPSK Eddwin Partogi Pasaribu menjelaskan, kuatnya sistem kekerabatan membuat pemberian identitas baru baru saksi dan korban jadi sulit. "Jika diberikan identitas baru, hal itu akan memutus hubungan kekeluargaan dan hak-hak lainnya,” katanya sebagaimana rilis yang diterima CNN Indonesia, Rabu (22/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedang untuk pemenuhan hak-hak lainnya, menurut Edwin, sejauh ini belum ada kendala berarti. Pemenuhan hak penting seiring meningkatnya jenis tindak pidana yang meminta perlindungan ke LPSK. Sebaran pemohon pun meluas, hampir dari seluruh Indonesia. LPSSK, terang Edwin, tidak bisa mengabulkan semuanya, hanya kasus yang jadi prioritas.
Kasus yang jadi prioritas LPSK, sebut Edwin, antara lain tindak pidana pelanggaran HAM berat, korupsi, pencucian uang, terorisme, perdagangan orang, narkotika, psikotropika, dan kekerasan seksual anak. Namun, tidak menutup kemungkinan, ada tindak pidana umum lain yang juga mendapatkan perhatian LPSK. Dengan syarat, saksi dan korban dalam kasus itu memang benar-benar berada di bawah ancaman.
Menurut Edwin, dalam pemberian perlindungan, LPSK menjalin koordinasi dengan aparat penegak hukum lain, seperti polisi dan jaksa. Hanya saja dalam implementasinya, hubungan itu tak selalu berjalan mulus dan kerap terdapat kendala dan hambatan. “Terkadang untuk memastikan kondisi saksi dan korban, LPSK perlu mengetahui duduk kasus. Namun, di lapangan, ada penyidik yang masih enggan berbagi BAP (berita acara pemeriksaan),” ungkap Edwin.
Selain itu, khusus pendampingan anak yang berhadapan dengan hukum, Edwin menyebut ada beberapa faktor-faktor yang kadangkala luput dari perhatian penyidik dan penegak hukum lain. Semisal, bagaimana kondisi psikologis anak pada saat diperiksa dan setelahnya. Perlu teknis khusus agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak stres.
(hel)