Cilacap, CNN Indonesia -- Jaksa Agung Prasetyo menyatakan Presiden RI Joko Widodo turun tangan langsung di balik penundaan eksekusi terhadap terpidana mati asal Filipina Mary Jane Fiesta Veloso. Sementara delapan terpidana dieksekusi dini hari tadi, Rabu (29/4), Mary Jane tetap di LP Besi dan akhirnya dibawa keluar dari Nusakambangan (Baca:
Lolos Eksekusi Mati, Mary Jane Dikirim Kembali ke Yogya)
“Di saat terakhir, ada permohonan pemerintah Filipina yang diajukan secara resmi. Kami bicarakan bersama, Kapolri dilibatkan. Setelah itu Presiden menyampaikan kepada eksekutor untuk sementara ditunda (eksekusi Mary Jane), bukan dibatalkan,” kata Prasetyo dalam konferensi pers di Dermaga Wijayapura, Cilacap.
Pemerintah Filipina mengatakan memiliki bukti dan fakta bahwa Mary Jane merupakan korban perdagangan manusia. (Baca:
Komnas Perempuan Sebut Mary Jane Korban Kekerasan dan Perdagangan Manusia)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, ujar Prasetyo, ada perkembangan baru yang terjadi kemarin Selasa (28/4), yakni penyerahan diri seorang bernama Kristina yang disebut sebagai perekrut dan penjebak Mary Jane hingga Mary ditangkap membawa narkoba di Yogyakarta. (Baca:
Perekrut Terpidana Mati Mary Jane Serahkan Diri ke Polisi)
“Ada permintaan resmi pada kepada Presiden untuk merespons permohonan (Filipina) itu dan kami memberikan kesempatan kepada pemerintah Filipina untuk mengungkapkan kebenaran kejahatan perdagangan manusia ini,” kata Prasetyo.
Ia menyatakan Mary Jane diperlukan dalam keadaan hidup oleh pemerintah Filipina untuk mengungkap kasus perdagangan manusia yang menimpanya. “Itulah sebabnya pemerintah Filipina meminta kepada kami untuk melaksanakan pelaksanaan putusan (eksekusi) Mary Jane,” ujar Prasetyo.
Pemerintah RI, kata Prasetyo, akhirnya mengabulkan permohonan itu untuk menghormati proses hukum yang berjalan di Filipina.
Kisah MaryMary Jane, menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan RI, ialah korban. Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menceritakan kisah hidup Mary Jane yang berliku sampai berakhir di penjara.
Mary Jane, ujar Yuniyanti, merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga dan perdagangan manusia. Dia berasal dari keluarga miskin di Filipina. Keluarganya pengumpul dan penjual barang bekas. Tak heran Mary jane putus sekolah. Ia hanya mengenyam bangku pendidikan sampai tingkat SMP.
Mary Jane menikah dini pada usia 16 tahun. Sial, ia menjadi korban kekerasan oleh suaminya sendiri, pun harus berperan sebagai kepala keluarga. Mary Jane lantas menjadi buruh Migran di Dubai, Uni Emirat Arab. “Ia pernah hampir diperkosa di sana,” kata Yuniyanti.
Usai insiden itu, Mary dirawat sebulan di rumah sakit. Ia kemudian memutuskan untuk kembali ke negara asalnya, Filipina. Namun ia lagi-lagi menjadi pekerja migran dan direkrut oleh tetangganya, Kristina, untuk bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga secara ilegal.
Untuk ke Malaysia, Mary Jane menggadaikan motor dan ponselnya. Itu pun masih kurang untuk menutupi biaya keberangkatan sehingga gaji Mary di Malaysia menurut Kristina bakal dipotong selama tiga bulan pertama.
Namun setibanya di Kuala Lumpur, pekerjaan yang dijanjikan ternyata sudah tak lagi tersedia. Mary lalu diminta Kristina untuk ke Indonesia. Ia dijanjikan bakal segera dipekerjakan sekembalinya dari Indonesia. “Namun ia ditipu dan malah dijadikan kurir narkotik,” ujar Yuniyanti.
Ketika hendak ke Indonesia, tepatnya Yogyakarta, Mary Jane dibekali uang US$500 dan diberi tas untuk menyimpan pakaian dan peralatan pribadinya. Namun tanpa sepengetahuan Mary, kata Yuniyanti, dimasukkan pula heroin 2,6 kilogram ke dalam tas itu. Begitu mendarat di Bandara Adisucipto, Mary ditangkap oleh otoritas Indonesia.
(agk)