Jakarta, CNN Indonesia -- Pepohonan yang rindang, tanah lapang dengan rumput hijau, lingkungan yang bersih serta kicau burung bersahutan. Begitulah kiranya suasana yang akan Anda dapatkan ketika menyambangi SOS Children's Village Karya Bhakti Ria Pembangunan yang berada di kawasan Cibubur, Jakarta.
Pagi itu (20/3) CNN Indonesia menyambangi salah satu rumah aman untuk anak di Jakarta tersebut pasca insiden penelantaran anak oleh orangtuanya belakangan ini. Suasana rumah perlindungan anak tersebut asri dan tenang.
(Baca Juga: Anak Korban Penelantaran Histeris karena Suasana Ramai)Kala itu jarum jam menunjukkan pukul 6.30 pagi. Di tengah suasana yang tenang itu, sayup-sayup terdengar suara sapu lidi yang digunakan untuk menyapu halaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah berjalan tak seberapa jauh ke dalam komplek SOS Children's Village, ternyata ada seorang perempuan dan beberapa anak yang sedang membersihkan halaman. Sang perempuan -yang dipanggil Ibu- menyapu sementara anak-anak membersihkan sisa dedaunan yang jatuh berserakan mengotori tanah.
Bersih-bersih halaman memang agenda rutin yang dilakukan oleh penghuni rumah di SOS Children's Village ini setiap pagi sebelum anak-anak pergi sekolah.
Tak hanya memungut sampah dedaunan, ada juga anak-anak yang menyapu teras rumah, maupun mengepel lantai. Dari wajah mereka tak sedikitpun terbersit rasa terpaksa, semua terlihat ikhlas membantu meski terkadang mereka membuat Ibu rumah aman sedikit jengkel.
(Lihat Juga: LPSK Sesalkan Safe House Anak Korban Penelantaran Tak Steril)"Sekali kerja langsung bersih, sayang. Tidak usah dobel sampai sepuluh kali," kata seorang ibu berambut keriting dengan logat Timur yang kental bernama Regina.
SOS Children’s Villages merupakan organisasi sosial nirlaba non-pemerintah dari Austria yang aktif dalam mendukung hak-hak anak dan berkomitmen memberikan kebutuhan bagi anak yang telah atau beresiko kehilangan pengasuhan orang tua mereka, yaitu kebutuhan keluarga dan rumah yang penuh kasih sayang.
Mungkin fungsi rumah aman ini hampir serupa dengan panti asuhan. Namun 'kemasannya' jelas berbeda. Rumah aman ini memiliki konsep pengasuhan berbasis keluarga.
Tak seperti panti asuhan yang dalam satu bangunan terdapat banyak anak, di sini anak tinggal dalam 15 rumah. Semua rumah memiliki bentuk dan luas yang sama.
Rumah yang cukup luas itu terdiri dari empat kamar tidur, dua kamar mandi, dua WC, ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan yang bergabung tanpa sekat, juga dapur dan halaman belakang.
(Lihat Juga: KPAI: Narkoba Bisa Jadi Biang Keladi Penelantaran Anak)Fasilitasnya pun lengkap. Ada tempat tidur, meja makan, kipas angin, televisi, kulkas, bahkan komputer. Semua fasilitas di setiap rumah pun sama. Tak ada yang berbeda.
Di rumah itu anak-anak tinggal bersama seorang ibu asuhnya. Biasanya jumlah anak pada tiap rumah sekitar 6 hingga 8 orang. Tapi ada juga yang 9 atau 10 orang, tergantung kemampuan sang ibu asuh yang merawatnya. Jumlah seluruh anak di rumah aman di kompleks SOS village ini mencapai 143 orang.
Meski berasal dari latar belakang dan keluarga yang berbeda, mereka tampak begitu harmonis dalam menjalani hubungan sebagai 'keluarga' di bawah satu atap.
Terlihat jelas bagaimana kasih sayang sang ibu terpancar ketika menyiapkan segala kebutuhan anak sebelum berangkat sekolah, menyiapkan bekal, sampai menyambut mereka pulang ke rumah dari sekolah.
(Lihat Juga: KPAI Akui Dilema Tangani Kasus Penelantaran Anak di Cibubur)Pemandangan yang sebenarnya bisa Anda dapatkan di sekitar Anda atau bahkan ada di rumah Anda sendiri. Namun bedanya kondisi ini jelas lebih dari biasa. Bagaimana tidak, beberapa orang asing menjalani kehidupan dalam satu rumah dan saling menyayangi seperti keluarga sendiri.
"Kami menjiplak keluarga alami. Apapun yang dilakukan keluarga alami kami jiplak. Kehidupan di sini sama seperti keluarga. Bangun, beraktivitas, just like any child in the world," kata Direktur Nasional SOS Children's Village, Gregor Hadi Nitihardjo, pada CNN Indonesia, Rabu (20/5).
Di Indonesia Yayasan SOS Children’s Villages sudah berdiri sejak tahun 1972. Pendirinya bernama Agus Prawoto. Dulunya beliau merupakan seorang tentara. Saat tinggal di Austria, beliau jatuh hati dengan program pengasuhan ini.
Sementara itu, rumah aman di kawasan Cibubur ini berdiri sejak tahun 1984. Gregor Hadi Nitihardjo mengatakan, kawasan seluas 3 hektar ini berdiri berkat kerja sama Yayasan SOS Children's Village, Yayasan Ria Pembangunan, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Yayasan Ria Pembangunan didirikan dan dikelola oleh, Ibu Tien, Ibu Habibi dan istri menteri lainnya pada zaman Soeharto dulu," kata laki-laki yang akrab disapa Hadi itu.
SOS Children's Village ini merupakan yang kedua di Indonesia. Yang pertama didirikan tahun 1972 di Lembang, Bandung, kemudian ada juga di Semarang, Tabanan, Flores, Banda Aceh, Meulaboh, dan Medan. Total keseluruhan berjumlah 8 buah.
Untuk mengoperasikan kawasan ini, pihak yayasan mengaku mendapatkan dana dari para donatur. Hadi juga menyebutkan pemerintah pun juga sering memberikan bantuan.
"Dari pemerintah bentuk dananya anak terima BOS, Bidik Misi, dana kesehatan, PKSA," ujar Hadi. Sementara yayasan lebih banyak menerima dana dari donatur perorangan maupun perusahaan dalam bentuk Corporate Sosial Responsibility (CSR).
"Ada beberapa orang yang menyumbang dalam jumlah sangat besar. Tapi ada ribuan lainnya yang hanya menyumbang Rp 100-200 ribu namun konsisten setiap bulan. Komitmen setiap orang itu yang membantu," jelas Hadi.
Selain membiayai semua anak dan ibu asuh, yayasan juga menggaji semua pegawai yang terlibat. "Ada bagian keuangan, sekretariat, psikolog, pendidik/pembimbing, tenaga kesehatan, IT, maintenance, pembina rohani, semua full timer," ucap Hadi.
Perekrutan pegawai pun mereka lakukan secara profesional. Bahkan sampai perekrutan ibu asuh. Semua melalui proses penyaringan berupa psikotes dan wawancara. "Ribuan orang yang melamar, cuma yang ditolak juga banyak. Kami harus punya standar," ujarnya.
Hadi dan seluruh jajaran yayasan percaya, jika semuanya dikelola dengan profesional, hasil binaan dan asuhan mereka pun akan jauh lebih baik. Para donatur pun akan percaya ke mana uang mereka pergi sebab semua dana dikelola secara profesional dan diaudit.
Walaupun sepertinya SOS Children's Village berjalan dengan baik tanpa kendala, tapi sebenarnya kendala itu tetap ada. "Anak masih belum dianggap sangat penting sehingga kalau SOS dan seluruh pemerhati anak menggunakan fokus pada kepentingan terbaik anak, hal itu belum dianggap penting. Bahakan di kalangan pejabat atau pemerintah sekalipun," kata Hadi.
Akibatnya, berbagai masalah pun timbul. Bukan sekadar dana, kualitas pengasuhan, kepedulian terhadap anak, sampai kualitas pendidikan pun tidak dianggap penting. "Menurut mereka selama anak bisa membaca menulis berhitung persoalan selesai. Padahal tidak seperti itu," kata Hadi menegaskan.
Berdirinya SOS Children Village dengan sistem pengelolaannya yang matang ini diprakarsai seseorang bernama Hermann Gmeiner pada 1949. Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tergerak hatinya ketika melihat begitu banyak anak terlantar dan kehilangan hak pengasuhan mereka dikarenakan Perang Dunia ke-2.
"Dengan dana US$ 30 dia meninggalkan kuliah kedokteran dan mengajak banyak orang dengan konsepnya yang begitu kuat," kata Hadi memaparkan.
Hadi menjelaskan Hermann kemudian mengajak orang untuk berbuat sesuatu saat itu. Dana sebesar $ 30 dijadikan modal oleh Gmeiner untuk membangun sebuah rumah. Perlahan-lahan ia pun mulai mengumpulkan dana lagi, membuat rumah lagi, kemudian membangun lagi, sampai akhirnya SOS Children's Village berdiri di Kota Imst, Austria.
Kini telah ada 134 yayasan SOS Children's Village yang ada di seluruh dunia untuk membantu semua anak yang kehilangan pengasuhan dari orang tua mereka.
(utd)