Jakarta, CNN Indonesia -- Sudah 17 tahun Indonesia menjalani masa reformasi, banyak perubahan terjadi di berbagai lini, sebut saja sektor pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, kondisi sosial dan seterusnya. Namun tidak dengan penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Hafid Abbas mengakui masih banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak ditindaklanjuti oleh lembaga penegak hukum Indonesia. Semenjak era Orde Baru runtuh, kasus-kasus tersebut didiamkan begitu saja seakan sengaja dibiarkan agar lapuk termakan waktu.
Kehadiran Komnas HAM merupakan salah satu bentuk penjaminan atas penghormatan HAM di Indonesia di era reformasi. Sebagai lembaga independen Komnas HAM, kata Hafid, punya kewenangan besar untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM di masa lampau secara utuh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tercatat ada tujuh kasus yang telah diselesaikan penyelidikannya dan diserahkan ke Kejaksaan Agung. "Misalnya kasus Semanggi I, Semanggi II, kasus Penghilangan Orang secara Paksa, kasus Trisakti, semua sudah selesai," ujar Hafid kepada CNN Indonesia, Rabu (20/5).
Sesuai dengan Undang-undang Pengadilan HAM, penuntutan merupakan kewenangan Kejaksaan Agung. Namun hingga saat ini Korps Adhyaksa menurutnya belum menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM. (Baca juga:
Kediaman Cendana setelah 17 Tahun Soeharto Turun)
Jika hal ini terus berlanjut, Hafid khawatir, penegakan keadilan atas HAM akan semakin sulit di kemudian hari. "Bisa saja ada
denial (penolakan) karena ada bukti-bukti, saksi-saksi bahkan yang mungkin sudah tidak ada atau meninggal, barang bukti sudah tidak ditemukan," ujar Hafid.
Pasca Soeharto lengser, Indonesia sudah lima kali berganti Presiden. Namun sistem penegakan keadilan atas HAM masih belum juga sempurna. Penanganan kasus pelanggaran HAM di Indonesia menurut Hafid masih sangat lambat jika dibandingkan dengan negara lain.
Ia mencontohkan penanganan kasus pelanggaran HAM di Norwegia, di mana seorang pemuda menembak secara membabi buta dan menewaskan 77 orang. Penanganan kasus tersebut dapat diselesaikan hanya dalam waktu tiga pekan. Belum lagi penanganan kasus pelanggaran HAM yang lebih besar di Rwanda, Majelis Hakim PBB mampu menyelesaikannya dalam waktu yang relatif singkat.
"Masa kita membiarkan kasus-kasus itu (pelanggaran HAM masa lalu) selama 17 tahun terbengkalai. Dan muncul lagi sekarang kasus Paniai yang sejak 8 Desember 2014. Sekarang sudah hampir enam bulan (belum selesai)," kata Hafid. (Simak FOKUS:
Mengingat Kembali Reformasi)
Penanganan kasus HAM menurutnya terkesan dinomorduakan. Pasalnya, pemerintah selama ini terkesan lebih mengurusi kasus-kasus lain yang datang silih berganti.
Selain lambannya penanganan, terhambatnya kasus HAM juga terkait dengan payung hukum yang ada. Undang-undang HAM seakan tumpul.
Saat ini tengah dirancang payung hukum baru yakni tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sempat dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu. (Baca juga:
Tiga Hari Terakhir Pembeda Loyalitas Para Menteri Soeharto)
Hingga kini pembahasan mengenai undang-undang tersebut tak kunjung selesai. Presiden Joko Widodo mengisyaratkan akan mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengatur mengenai rekonsiliasi, rehabilitasi dan kompensasi atas kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Saya percaya dengan janji Pak Jokowi jika dalam nawacitanya memang sudah dinyatakan akan menyelesaikan dengan baik. Saya percaya bahwa ini bisa diselesaikan," kata Hafid.
(sur)