Cerita Perih ABK: Dari Disiksa Hingga Tak Dapat Upah Melaut

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Kamis, 21 Mei 2015 12:55 WIB
Rentetan kisah sedih ABK Indonesia di luar negeri menunjukkan masih rendahnya perlindungan pemerintah atas nasib ABK.
Rimah (70) menunjukkan foto anaknya, Rasjo Lamtoro salah satu Anak Buah Kapal (ABK) yang tewas di perairan Afrika di rumahnya Desa Kalisapu, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (20/5). (AntaraFoto/Oky Lukmansyah)
Jakarta, CNN Indonesia -- Edy Supriyono, pemuda asal Pati, Jawa Tengah, tidak pernah membayangkan hidupnya akan terlunta-lunta seperti saat ini. Dia pergi bekerja ke perairan Karibia sebagai Anak Buah Kapal (ABK) di kapal penangkap ikan milik perusahaan Taiwan demi harapan mendapatkan hidup yang lebih baik, sebagaimana yang didengarnya selama ini. Kapal pesiar mewah membayang di pelupuk matanya.

Namun, harapan itu kandas. Kenyataan tak seindah pikiran lugu yang menaungi pemuda ini. Alih-alih mendapatkan upah layak, Edy malah tertipu sejumlah uang oleh sponsor PT Bahana Samudera Atlantik (BSA), yang kini telah tutup. Tak hanya itu, dia juga mendapatkan dokumen buku pelaut palsu, yang berarti tidak ada jaminan perlindungan selama dia melaut.

Selama melaut dengan kapal ikan bermasalah, Edy menuturkan, dia juga kerap dipaksa bekerja hingga 20 jam sehari dan tidak boleh berhenti bekerja meskipun sedang sakit. Lebih jauh lagi, dia juga mendapatkan kekerasan fisik dan dilarang berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia selama enam bulan melaut. (Baca Juga: FOKUS Budak Indonesia di Kapal Asing)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika kembali saya juga dipulangkan tanpa menerima gaji dan menjadi korban proposal LSM yang mengaku peduli TKI," kata Edy melalui pernyataan yang diterima CNN Indonesia, Kamis (21/5).

Senasib dengan Edy adalah pemuda lain asal Cilacap, Agus, yang juga menjadi ABK untuk PT BSA. Lelaki itu mengatakan tidak pernah menerima gaji tiga tahun bekerja sebagai ABK. Tak hanya itu, kompensasi bantuan reintegrasi sosial oleh sebuah internasionalpun tak kunjung terwujud.

"Waktu itu saya dan teman-teman diminta untuk menyiapkan beberapa kuitansi kosong dan menandatangani pengajuan program sebesar Rp 81 juta rupiah. Namun, sampai sekarang, dana itu tak juga kami terima," kata Agus.

Agus menyatakan telah melaporkan PT BSA kepada pihak berwajib sejak 2013 silam dengan laporan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Dia dan rekan ABK juga sudah mengantongi bukti keterangan dari Syahbandar yang menunjukkan kepemilikan dokumen buku pelaut mereka tidak terdaftar di Kementerian Perhubungan.

"Namun, hingga kini pihak berwajib belum bisa menangkap para pelaku. Saya tidak tahu kenapa," ujar Agus.

Tidak adanya upah memperparah nasib ABK lainnya, Dana asal Indramayu, Jawa Barat. Akibat tak juga mengirim uang ke istrinya dan tak berkirim kabar selama 3 tahun, ia ditinggalkan menikah lagi oleh istrinya.

"Istri saya bilang saya lupa keluarga karena tak pernah kirim uang,"kata Dana menjelaskan kisahnya.

Ketiga cerita tersebut hanyalah sedikit dari kisah lainnya yang dialami oleh 203 ABK korban penipuan dan dugaan perdagangan manusia pada 2012. Menurut Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN), kisah tersebut menunjukkan fakta masih rendahnya perlindungan yang diberikan pemerintah Indonesia atas ABK yang bekerja di luar negeri.

"Cerita mereka seharusnya menjadi cerminan bagi pemerintah Indonesia untuk secepatnya memberikan, meningkatkan dan mengutamakan sistem perlindungan kepada para TKI Pelaut yang mengalami permasalahan dan kerugian," kata Iskandar Zulkarnaen dari SPILN. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER