Penyelesaian Kasus HAM Butuh Istrumen Hukum Jokowi

Utami Diah Kusumawati | CNN Indonesia
Kamis, 28 Mei 2015 10:49 WIB
Untuk menjalankan Komite Rekonsiliasi yang telah disepakati pemerintah dan berada langsung di bawah Jokowi, perlu diterbitkan lebih dulu Peraturan Presiden.
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (26/2). Pada aksi ke-386 itu mereka menyerukan penghentian kekerasan atas nama negara. (Antara/Fanny Octavianus)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penyelesaian proses hukum atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu selama ini mandek karena belum ada instrumen hukum yang mengikat. Oleh sebab itu instrumen hukum dari Presiden Jokowi dibutuhkan sebagai dasar untuk menyelidiki dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat. Sebelumnya, pemerintah telah sepakat untuk membentuk Komite Rekonsiliasi yang akan berada langsung di bawah Presiden Jokowi. (Baca: Jokowi Bentuk Komite Rekonsiliasi untuk Kasus HAM Masa Lalu)

"Untuk menjalankan komite khusus yang langsung dibentuk Presiden Jokowi (Komite Rekonsiliasi) dibutuhkan instrumen berupa Peraturan Presiden," kata Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah kepada CNN Indonesia, Kamis (28/5). (Baca juga: 17 Tahun Reformasi, Penuntasan Kasus HAM Sebatas Mimpi)

Roichatul yang juga ketua tim investigasi tujuh kasus pelanggaran HAM masa lalu, mengatakan tanpa adanya dasar hukum berupa Peraturan Presiden maka komite tidak akan bisa menuntaskan penyelidikan kasus karena selalu berhenti di tengah jalan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemerintah juga mesti melihat apakah Undang-Undang yang ada selama ini menghambat atau mendorong penyelesaian proses hukum pelanggaran HAM masa lalu," ujar dia.  (Baca juga Komnas: Tujuh Kasus untuk Pengadilan HAM Macet di Kejaksaan)

Roichatul menyarankan agar pemerintah sebaiknya melakukan pembicaraan dengan berbagai elemen masyarakat mulai dari tokoh agama, organisasi keagamaan dan masyarakat, hingga kalangan politikus untuk menemukan titik temu penyelesaian kasus HAM.

Dialog bersama penting dilakukan untuk mencari tahu apakah terdapat mekanisme penyelesaian lain dalam beberapa kasus HAM masa lalu. "Tidak semua kasus bisa diselesaikan hanya dengan rekonsiliasi. Ada juga yang mesti melalui pengadilan. Namun masing-masing cara, baik yudisial atau nonyudisial, butuh proses," ujar Roichatul.

Untuk penyelesaian melalui rekonsiliasi, kata Roichatul, terdapat elemen pengungkapan apa yang terjadi, penetapan peristiwa, pengakuan oleh pemerintah atas terjadinya kejadian pelanggaran, pengakuan korban, pernyataan penyesalan dari pemerintah, hingga pemulihan korban.

Sementara untuk elemen pidana atau pengadilan, harus ada proses hukum yang adil dan kompeten, termasuk penetapan pelaku serta pengadilan yang sesuai, yakni Pengadilan HAM Ad Hoc. (Baca: Tujuh Kasus untuk Pengadilan HAM Macet di Kejaksaan)

Menurut Roichatul, selama ini proses hukum atas dugaan pelanggaran HAM selalu membuat pelaku bebas. "Oleh karena itu harus dipikirkan konstruksi pengadilan selama ini. Apakah elemen hukum yang adil sudah terpenuhi atau belum," ujar dia.

Sementara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar mendesak agar tidak seluruh kasus pelanggaran HAM diselesaikan melalui rekonsiliasi. "Apakah mungkin melakukan rekonsiliasi antara penjahat dengan seorang ibu yang anaknya dibunuh atau dihilangkan? Apa para korban harus minta maaf? Ke siapa? Atas dasar apa?" kata Haris.

KontraS pun berharap Presiden Jokowi bisa segera memerintahkan Kejaksaan Agung untuk melanjutkan tujuh berkas kasus pelanggaran HAM berat yang telah diserahkan oleh Komnas HAM. Ketujuh kasus itu adalah peristiwa 1956-1966, penembakan misterius 1982-1985, kasus Talangsari Lampung 1989, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 97/98, kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi II serta Wasior dan Wamena. (Lihat juga INFOGRAFIS Kasus HAM Menanti Penegakan Hukum) (utd/agk)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER