Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyatakan masih ada jutaan anak yang terpaksa bekerja karena terimpit masalah ekonomi. Kemenaker memperkirakan ada 1,7 juta anak yang bekerja, di mana 400 ribu di antaranya bekerja di lingkungan yang buruk.
"Pekerja anak timbul karena faktor ekonomi. Mereka kerap putus sekolah demi membantu mencari nafkah untuk keluarganya," kata Hanif saat ditemui di Gedung Kementerian Ketenagakerjaan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (1/6).
(Lihat Juga: Menteri Hanif Minta Pemda Ikut Hapuskan Pekerja Anak)Berdasarkan survei yang terlampir dalam Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak 2022 Kementerian Ketenagakerjaan, tercatat jumlah pekerja anak di pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jumlah pekerja anak di pedesaan tercatat hampir dua juta anak, sedangkan jumlah anak yang bekerja dan tinggal di kota sebanyak 386 ribu anak.
Menurut survei tersebut, sektor pertanian merupakan penyumbang pekerja anak terbesar di pedesaan. Sementara sektor perdagangan merupakan penyumbang pekerja anak terbesar di perkotaan.
Secara keseluruhan, 985 ribu anak usia 15 hingga 44 tahun dari total pekerja anak, terkena kondisi berbahaya, seperti berdekatan dengan benda berbahaya, terpapar debu atau uap, api dan gas, serta bahan kimia atau mesin berbahaya.
Muhamad Ridwan (15) adalah satu contoh dari banyak anak yang pernah bekerja. Kepada CNN Indonesia, ia bercerita dirinya terpaksa bekerja pada saat menginjak usia sepuluh tahun karena masalah ekonomi.
Ia dan adiknya putus sekolah karena kedua orangtua mereka tidak mampu menyekolahkan. Kemudian, keduanya terpaksa berjualan jajanan di kampungnya di Cirebon, Jawa Barat.
"Karena di Cirebon kehidupan tidak juga membaik, kami akhirnya pindah ke Jakarta. Namun, saya malah jadi anak jalanan, mengamen setiap harinya, " kata Ridwan.
(Baca Juga: Kemenaker Sebut 400 Ribu Anak Bekerja di Lingkungan Buruk)Ridwan mengatakan dia merasa sedih saat berhenti sekolah. Niat Ridwan untuk menimba ilmu sampai bangku kuliah pupus karena orangtuanya, yang harus membiayai sembilan orang anak, tidak lagi mampu membayar uang sekolah.
"Untungnya, saya kemudian dibantu organisasi nonprofit Yayasan Rumah Kita dan sekarang sudah bisa sekolah sepenuhnya tanpa harus bekerja," kata Ridwan. Di usianya yang ke-15, Ridwan kini duduk di bangku kelas I Sekolah Menengah Pertama (SMP) 243 Jakarta Timur.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur International Labour Organization (Organisasi Buruh Internasional) Jakarta Michiko Miyamoto berpendapat pemerintah Indonesia perlu memberikan subsidi kepada keluarga yang memiliki anak yang terpaksa bekerja.
"Dengan memberikan subsidi, keluarga miskin tidak perlu takut kehilangan penghasilan ketika anaknya yang bekerja ditarik untuk kembali bersekolah," kata Michiko.
Selain itu, ia berpendapat perlunya perbaikan kualitas pendidikan, baik itu dari segi fasilitas, kurikulum dan guru. "Supaya para orangtua dapat melihat manfaat dari menyelolahkan anak-anaknya," katanya.
(utd)