Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat anggaran politik dan Direktur Centre for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi membeberkan potensi korupsi dalam tubuh organisasi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia. Meski PSSI tak berstatus lembaga negara, akuntabilitas keuangan otoritas sepakbola tanah air itu dinilai buruk.
"Sewaktu mendapat dana dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), sebelum 2013, banyak kebocoran dan dugaan kejanggalan pengelolaan keuangan oleh PSSI," kata Uchok kepada CNN Indonesia, Jumat (5/6).
Menurut Uchok, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2011, pada 2010 PSSI mendapat bantuan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebesar Rp 19.477.640.123 untuk keikutsertaan Timnas Indonesia mengikuti kejuaraan sepak bola ASEAN Football Federation (AFF) dan Asian Football Confederation (AFC).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dana tersebut ditujukan untuk Timnas senior sebesar Rp 17.073.637.517 dan Timnas U-16 sebesar Rp 2.404.002.604. "Sisa dana sebesar Rp 522.359.879," kata Uchok.
Uchok mengatakan dugaan penyimpangan anggaran muncul karena adanya kesalahan atas pembebanan biaya kegiatan lain, yakni pembayaran gaji atau honor, serta fasilitas hidup untuk pelatih dan asisten pelatih timnas sebesar Rp 212.625.200.
"Padahal dana bantuan ini bukan untuk itu. Dalam perjanjian antara Kemenpora dengan PSSI, dana bantuan untuk biaya operasional selama AFF," ujar Uchok.
Uchok juga menyampaikan terdapat anggaran yang tidak sesuai dengan perjanjian antara Kemenpora dan PSSI, yakni Rp 170.907.360 untuk biaya sewa apartemen pelatih timnas. Ada pula kekurangan pembayaran pajak yang disetor PSSI dari gaji, honor, uang harian, uang pertandingan dan bonus yang semestinya sebesar Rp 1.494.009.006 pada Maret 2011.
"Ternyata kurang perhitungannya sebesar Rp 167.816.654," kata Uchok. Kekurangan itu terdiri dari kurang bayar pajak untuk timnas sebesar Rp 163.482.681 dan timnas U-16 sebesar Rp 4.333.973.
Kini PSSI tak mengandalkan dana APBN lagi untuk biaya operasional mereka, melainkan dari bantuan sponsor. Meski demikian Uchok memandang potensi korupsi masih ada dari bantuan sponsor serta dana operasional di daerah.
"Kalau yang di daerah, anggota Dewan banyak mengakali dana supaya bisa tetap pakai APBD padahal sudah tidak diperbolehkan. Soalnya cari sponsor di daerah lebih sulit dari di kota besar," kata Uchok.
Oleh karena itu ia menilai penting agar laporan keuangan serta hasil audit PSSI dibuka kepada publik sejelas mungkin. Apalagi berdasarkan gugatan Forum Diskusi Suporter Indonesia pada Desember 2014, Komisi Informasi Publik telah memutuskan PSSI sebagai badan publik. Dengan demikian PSSI wajib membuka laporan keuangan kepada khalayak umum. (Baca juga:
Laporan Keuangan PSSI Dinilai Tak Transparan ke Publik)
Selain memutuskan status PSSI tersebut, KIP juga mengabulkan tuntutan FDSI agar PSSI membuka laporan penjualan tiket pertandingan tim nasional dan hak siar pertandingan timnas.
"Dengan status sebagai badan publik, maka masyarakat berhak untuk mengawasi uang publik. PSSI sendiri mendapatkan uang negara Rp 1,5 miliar untuk Kongres pada 2013, tapi poinnya bukan di situ. Bukan karena dananya kecil sehingga tidak perlu diawasi," kata anggota Tim Transisi Cheppy Wartono.
Secara terpisah, Direktur Hukum PSSI Aristo Pangaribuan menyatakan dugaan korupsi di tubuh PSSI selalu muncul namun tak pernah terbukti. Hasil audit BPK atas PSSI tahun 2011 itu pun menurutnya telah dilaporkan sejumlah pihak ke lembaga penegak hukum. (Baca juga
PSSI: Kalau Kami Korupsi Seperti FIFA, Tangkap!)
"PSSI sudah pernah dilaporkan ke mana-mana, mulai ke KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Ombudsman. Hanya ke Komnas HAM dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) kami belum pernah dilaporkan. Tapi tak satu pun tuduhan terbukti," kata Aristo.
Apabila memang ada korupsi di tubuh PSSI, Aristo menyatakan itu merupakan perbuatan individu, bukan organisasi. Oleh sebab itu ia mempersilakan bukti-bukti dikumpulkan agar orang-orang yang melakukan korupsi di PSSI dapat ditangkap.
(utd/agk)