Cikal Bakal Dana Aspirasi DPR

Aghnia Adzkia | CNN Indonesia
Rabu, 10 Jun 2015 09:52 WIB
Selain dana reses, kini DPR mencoba mengajukan kembali usul dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar untuk tiap anggota dewan untuk masuk APBN 2016.
Suasana Sidang Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/5). Sidang Paripurna ke-29 tersebut mengagendakan mendengar keterangan pemerintah mengenai pokok-pokok pembicaraan pendahuluan RAPBN Tahun Anggaran 2016. (AntaraFoto/ Akbar Nugroho)
Jakarta, CNN Indonesia -- Manager Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi menjelaskan dana aspirasi yang kini tengah digodok di DPR tak hanya mencuat pada 2015. Sebelumnya, anggota legislatif periode 2004 hingga 2009 pernah mengusulkan wacana serupa. Namun, seluruh usulan tersebut justru mengarah ke satu hal, yakni potensi korupsi.

"Dulu DPR periode 2004 sampai 2009 pernah ada wacana itu, tapi tidak diakomodir karena sistem penganggaran di DPR harus melaporkan ke Kemenkeu. Tapi ditolak. Bahkan ada beberapa yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi," ujar Apung ketika dihubungi CNN Indonesia, di Jakarta, Selasa petang (9/6).

Lantaran kandas, anggota dewan hanya mengantongi dana reses. Dana ini digunakan para anggota legislatif untuk kembali ke daerah pemilihannya dan mengadakan pertemuan dengan para konstituen.  (Baca Juga: Dana Aspirasi Usulan Anggota Dewan yang Rajin ke Daerah)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada periode selanjutnya, anggota dewan kembali memunculkan usulan tersebut. "Tahun 2009, mereka bikin dana aspirasi juga karena mau buat rumah-rumah aspirasi dapil," katanya melanjutkan.

Pada tahun 2010, Ketua Badan Anggaran DPR Harry Azhar mengusulkan dana aspirasi bagi 506 anggota DPR sebesar Rp 15 miliar per orang. Namun belum juga terlaksana, usulan tersebut ditolak lantaran menuai kritik masyarakat. Harrypun justru dipecat.

Pada saat bersamaan, muncul wacana dana desa Rp 1 miliar untuk tiap desa di seluruh Indonesia. Dana tersebut digunakan untuk mengembangkan potensi desa dan menyejahterakan masyarakat pedesaan. (Lihat Juga: Siap-siap, Pemerintah Segera Kucurkan Dana Desa Rp 20,7 T)

Tak berhenti di situ, perjuangan untuk mengajukan dana aspirasi tetap dirancang baik melalui usulan ataupun undang-undang. Pada 2014, melalui UU MD3, DPR memiliki kewenangan untuk mengambil aspirasi masyarakat dan memperjuangkan kepentingan dapil.

"Mereka mengubah undang-undang sebagai pintu masuk untuk dana aspirasi. Itu disalahtafsirkan. Itu sifatnya tidak uang tapi harusnya program kegiatan," ujar Harry menjelaskan. (Lihat Juga: Demokrat Tunggu Finalisasi Rp 11,2 Triliun Duit Aspirasi DPR)

Di satu sisi, Apung menduga ada upaya pelemahan kontrol terhadap anggaran anggota dewan. Dalam revisi UU MD3 yang telah disahkan, DPR tak lagi memiliki badan pengawas sebagai mekanisme kontrol internal. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) pun dihapuskan. Alhasil, pengawasan terhadap anggaran yang dikelola DPR melemah.

Selanjutnya, wacana dana aspirasi semakin meruncing pada 2015. Sebanyak Rp 20 miliar untuk tiap anggota dewan akan menjadi pagu untuk merealisasikan usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP). Estimasi total dana aspirasi yang dituntut para anggota dewan itu mencapai Rp 11,2 triliun dan tengah diupayakan masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2016. (Lihat Juga: DPR Mengaku Belum Tentukan Dana Aspirasi Rp 11,2 Triliun)

"Itu perampokan uang negara. Padahal fasilitas mereka tiap reses, Rp 150 juta dan satu tahun ada empat kali reses. Gimana ini pertanggungjawaban," katanya.

Apung menegaskan usulan dana aspirasi justru mengarah pada mencuatnya potensi dugaan korupsi. Alih-alih mengalirkannya untuk masyarakat di daerah pilihan, duit miliaran tersebut bisa jadi disalahgunakan.

"Dana aspirasi ini mirip dengan dana batuan sosial, potensi korupsinya tinggi. Biasanya di dapil, adanya golongan tertentu seperti kader politik dan bukan masyarakat umum," ucapnya.

Apung berpendapat, potensi kerugian negara apabila dana tersebut disalahgunakan dapat mencapai Rp 11,2 triliun dengan asumsi seluruh anggota dewan mengantongi duit tersebut tanpa membuka laporan pertanggungjawaban ke publik. Hal senada diucapkan oleh peneliti hukum dan politik anggaran Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam.

"Korupsi itu masuk dalam ruang-ruang di mana pengelolaan anggaran tidak jelas, tidak ada transparansi dan akuntabilitas. Dana aspirasi ini sampai sekarang tidak tahu bagaimana mekanismenya dan bagaimana masyarakat mengawasi," kata Roy.

Alih-alih mengelola anggaran, Roy berpendapat, DPR justru bertugas dan memiliki wewenang untuk mengawasi anggaran. Pada konteks ini, DPR berkedudukan sebagai legislatif. Sementara itu, pelaksana sekaligus pengelola Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) adalah pemerintah atau pihak eksekutif.

"Ini memunculkan konflik antara eksekutif dan legislatif (DPR). Ini menabrak sistem," ujarnya.

BACA FOKUS: Dana Aspirasi (Wakil) Rakyat (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER