Sutiyoso, Jenderal Lapangan yang Jadi Spion Jokowi

Helmi Firdaus | CNN Indonesia
Kamis, 11 Jun 2015 14:20 WIB
Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso terlibat setidaknya empat operasi militer pada tiga daerah yang berbeda.
Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso yang dipilih Jokowi jadi Kepala BIN yang baru menggantikan Marciano Norman. (detikcom/rengga sancaya)
Jakarta, CNN Indonesia -- “Prajurit itu ya begini. Ada bekas-bekas luka dari lapangan,” kata Sutiyoso sambil menujukkan bekas-bekas lukanya. Sutiyoso memang membanggakan tidak hanya luka-luka yang didapatkannya waktu bertugas, tetapi juga pengalamannya di lapangan. Itu tampaknya yang jadi alasan dia menerbitkan buku “Sutiyoso, The Field General: Totalitas Prajurit Para Komando.”

Kemarin DPR menyebutkan bahwa Jokowi mengajukan nama mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang baru, menggantikan Marciano Norman. Pergantian yang mengejutkan karena sebelumnya tidak ada isu bakal ada rotasi kepala lembaga telik sandi negara itu.

“Saya bukan hanya terkejut, tapi terkejut sekali,” kata Gatot Purwanto, purnawirawan Kolonel Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha) yang kini menjadi Kopassus saat berbincang dengan CNN Indonesia, Rabu (10/6). (Baca juga: Jokowi Tunjuk Bang Yos Jadi Bos Intelijen)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gatot salah satu anggota Tim Susi, tim tertutup Kopassus yang disusupkan ke Timor-Timur (kini Timor Leste) pada 1974-1975. Gatot termasuk dalam kelompok prajurit pertama yang menginjakkan kaki di Bumi Loro Sae tersebut.

Gatot mengaku, dirinya tidak pernah bertemu dengan Sutiyoso apalagi dalam satu tim selama di Timor-Timur. Sepengetahuan Gatot, Sutiyoso menjadi Wakil Komandan dari salah satu dari dua tim yakni Tuti dan Umi.

Berdasakan buku "Kopassus, Inside Indonesia's Special Forces" karangan Ken Conboy, disebutkan bahwa Sutiyoso masuk dalam Tim Umi. Sutiyoso menjadi komandan dalam sub Tim Umi yang disusupkan ke kota Suai.

Dua tim itu bersama dengan Tim Susi adalah tiga tim awal yang dikirimkan ke Timor-Timur. Daerah itu menjadi daerah operasi ABRI (kini TNI). Selama di Timor-Timur, Gatot mengaku semua anggota tim tidak memakai nama sebenarnya. Gatot selama di sana, kerap dipanggil Aseng, karena tampangnya mirip orang China dengan mata yang sipit. “Saya tidak tahu apa nama panggilan Sutiyoso,” tuturnya.

Namun, Gatot mengaku mendengar nama Sutiyoso selama di sana. “Ya sebagai prajurit di sana, dia tidak bagus sekali, juga tidak jelek. Ya biasa saja. Tetapi saya terkejut sekali karena menurut saya, sebenarnya latar belakang intelijen tidak sebagus lapangannya. Tapi mungkin Jokowi punya pertimbangan lain. Marciano Norman kan latar belakang intelijennya tak seberapa,” ujarnya. (Baca juga: Bang Yos: Jokowi Tahu Pengalaman Intelijen Saya)

Pengalaman tugas lapangan Sutiyoso yang menarik perhatian publik, terutama dunia internasional adalah kaitannya dengan peristiwa Balibo Five. Balibo adalah sebuah daerah di mana lima wartawan Australia terbunuh. Bang Yos, begitu dia biasa disapa, pernah didatangi polisi Australia pada akhir Mei 2007 ketika dia memenuhi undangan pemerintah bagian New South Wales karena dikira terlibat Balibo Five. (Baca juga: Kasus Balibo, Jangan Salahkan Kopassus)

Soal Balibo Five sendiri, Bang Yos menyatakan dia tidak terlibat. Saat insiden Balibo Five, Bang Yos menyebut dirinya sedang bertugas di Batu Gede, kota di sebelah utara Balibo. Polisi Australia menghentikan investigasi kasus Balibo Five sebab kekurangan bukti. Polisi Australia memulai investigasi pada 2009 setelah pengadilan memutuskan lima jurnalis itu dibunuh secara sengaja, bukan baku tembak.

Bang Yos masuk Timor-Timur ketika dia terlibat dalam operasi intelijen tempur terbatas yakni Operasi Flamboyan serta Operasi Seroja. Bahkan sebelumnya pada tahun 1974, bang Yos sudah telah lebih dulu disusupkan sendirian secara klandestin ke perbatasan Timor-Timur.

Operasi Flamboyan salah satu operasi yang menarik untuk melihat kemampuan tempur Sutiyoso. Operasi itu salah satunya untuk upaya mengevakuasi empat anggota tim yang tertembak dari barak UDT di Suai, Timor-Timur. Dicuplik dari buku "Kopassus, Inside Indonesia's Special Forces," pertempuran di Suai cukup menegangkan. 

Barak itu juga menjadi UDT menyimpan persenjataan, dijaga ketat. Barak itu di sebelah selatan, sementara bagian utara adalah Kantor Bupati Suai. Keduanya berada dalam satu kompleks. Depan kedua bangunan adalah lapangan terbuka. Jarak lapangan terbuka dengan kedua bangunan itu sekitar 100 meter.

Sutiyoso yang waktu itu kapten, memimpin penyerangan ke barak, sementara Letnan Johannes Bambang menyerang rumah bupati. Serangan dimulai dini hari pukul 01.00. Persis pada jam itu tanda flare dilontarkan Sutiyoso. Pertempuran pun pecah selama hampir tiga jam.

Sebenarnya baku tembak tak berlangsung intens. Dua pihak lebih banyak diam menunggu di gelap malam. Kesunyian itu sesekali pecah oleh letupan AK-47 dan luncuran roket. Johannes menyebut dia melepaskan 9 roket ke rumah bupati. Tapi tembakan itu tidak berdampak cukup besar. Sutiyoso dan tim nya sendiri gagal mendekati barak dan membakarnya.   

Selain di Timor-Timur, Bang Yos juga terlibat dalam operasi militer di Aceh pada pertengahan 1978. Selama 10 bulan dia memimpin operasi melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Operasi itu dinamakan Nanggala 27. Sutiyoso dan pasukannya berhasil menangkap hidup-hidup sebagian besar tokoh GAM, kecuali Hasan Tiro.

"Operasi ini jadi penugasan militer saya yang paling menarik. Saat operasi ini berakhir, semua pemimpin pemberontak yang tersisa harus melarikan diri ke Malaysia," ucap Sutiyoso. 

Menjadi pasukan khusus tampaknya menjadi garis tangan Sutiyoso. Begitu dia lulus Akmil pada tahun 1968, lelaki kelahiran 6 Desember 1944 di Semarang itu langsung ditugaskan dalam Operasi Pemberan­tasan PGRS/Paraku di Kalimantan Barat pada 1969. Sutiyiso menjadi komandan peleton intelijen tempur.

Keberhasilan utamanya adalah mengisolasi gerilyawan PGRS/Paraku berkat bantuan penduduk setempat. Ia memang mampu menggalang kepercayaan penduduk di daerah Kalimantan Utara itu. Berkat kedekatan itu, ia dengan mudah mengenali musuh serta memutus mata rantai dukungan dan logistik kepada gerilyawan pemberontak.

Saat Kopassandha berubah nama menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Sutiyoso ditugaskan menjadi Wakil Komandan Grup 3 Kopassus, Ujung Pandang (1986). Belakangan unit itu dilikuidasi dan statusnya beralih menjadi Brigade Infanteri Linud 3/Kostrad. Target alih status itu dua tahun. Sutiyoso berhasil melakukannya dalam tempo sepuluh bulan. Meskipun begitu, bukan dia yang diangkat menjadi Komandan Brigif Linud 3/Kostrad tersebut. Sutiyoso menjabat Kepala Staf Brigif Linud 3/Kostrad, Ujung Pandang (1986-1987), dengan pangkat Letnan Kolonel.

Berikutnya, dengan berpangkat kolonel, Sutiyoso sempat mengemban lima jabatan. Mulai dari menjabat Asisten Personel Kopassus (1987-1989), Asisten Operasi Kopassus (1989-1991), lalu pindah menjabat Asisten Operasi Kostrad (1991-1992), kemudian kembali lagi ke Baret Merah sebagai Wakil Komandan Jenderal Kopassus (1992-1993).

Posisi ini biasanya dijabat kolonel senior. Sutiyoso waktu itu kandidat kuat Danjen Kopassus, namun dia malah dipindah ke satuan teritorial sebagai Komandan Korem 062 Suryakenca­na, Bogor (1993-1994).

"Saya berkarier di militer kira-kira 30 tahun. Selama 25 tahun saya mengabdi di lapangan di grup 3 Kopassus TNI AD, lalu kira-kira tiga tahun saya di Kostrad. Selebihnya kira-kira 22 tahun saya mengabdi di jajaran Kopassus TNI AD. Jabatan terakhir saya sebagai Wakil Komandan Jenderal Kopassus," tutur Sutiyoso. 

Sosoknya mulai mencuat lagi saat terpilih sebagai komandan resimen terbaik se-Indonesia ketika menjabat Kepala Staf Kodam Jaya pada 1994. Inilah yang mengantarkannya jadi Panglima Kodam Jaya. Semasa menjadi panglima, dia membuat Coffee Morning, sebuah acara diskusi bulanan dengan para sesepuh dan tokoh masyarakat terkait soal keamanan Jakarta. Pendekatan ini turut mengantarkan Sutiyoso menjadi Gubernur DKI Jakarta selama dua periode (1997-2007). 

Kini tugas baru diemban Sutiyoso sebagai bos telik sandi negara. Banyak yang menilai, Sutiyoso sosok yang tepat untuk jabatan itu. Dia punya pengalaman militer sebagai prajurit lapangan yang terlibat operasi dengan kemampuan intelijen. Selain itu, Sutiyoso dinilai bisa diajak “bicara” karena memiliki pengalaman memimpin sipil sebagai Gubernur DKI Jakarta.

BACA FOKUS: Seleksi Kepala Telik Sandi (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER