DPR Sebut Pengusul Revisi UU KPK adalah Pemerintah

Aulia Bintang | CNN Indonesia
Minggu, 21 Jun 2015 00:57 WIB
DPR mempertanyakan sikap Menkumham Yasonna Laoly yang meminta agar UU 30 Tahun 2002 masuk Prolegnas 2015.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon. (Antara Foto/Yudhi Mahatma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Legislasi DPR bingung. Presiden Joko Widodo menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi justru Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly yang meminta DPR RI untuk memasukkan revisi UU itu ke dalam program legislasi nasional prioritas 2015.

Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo mengatakan apa yang dilakukan Yasonna Laoly cukup membingungkan. Menurut Firman, Yasonna harus bertanya pada dirinya sendiri untuk siapa dia bekerja sebenarnya. "Itu dia, Yasonna itu bekerja sendiri atau bekerja untuk Pak Presiden," ujar Firman saat dihubungi CNN Indonesia, Sabtu (20/6).

Firman pun meminta publik jangan mau dibodohi oleh opini-opini yang berkembang di masyarakat yang akhirnya menjatuhkan nama DPR RI. Menurut Firman, jika target revisi UU gagal terpenuhi maka yang akan diolok-olok bukanlah pemerintah melainkan DPR RI. Padahal dalam pembahasan UU tak selalu DPR RI yang bermasalah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Maka dari itu, Firman mendesak pemerintah konsisten dalam mengambil keputusan, terutama soal revisi UU kali ini. Menurut Firman, saat ini Baleg dan pemerintah memiliki 10 RUU yang harus diselesaikan di 2015 dan baru segelintir yang pemerintah serahkan rancangannya ke DPR, salah satunya soal UU No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Firman menjelaskan, dengan adanya kekisruhan masalah revisi UU KPK, maka banyak waktu yang akan terbuang. Tak hanya waktu, Firman menyebut anggaran yang sudah disiapkan menjadi berantakan, padahal jadwal sudah dibentuk sebelumnya.

Sebenarnya DPR RI juga sudah memiliki rencana untuk melakukan revisi terhadap UU KPK, tapi revisi tidak bisa berdiri sendiri melainkan harus disinkronisasi dengan revisi UU KUHP, UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, serta UU lain yang memakai KUHP dan KUHAP sebagai acuan. Dengan rencana tersebut, revisi UU KPK masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah 2014-2019 dan akan dimulai pembahasan apabila revisi KUHAP selesai dilaksanakan.

"Jadi revisi UU KPK (yang kami masukkan ke Prolegnas Jangka Menengah 2014-2019) itu tidak berdiri sendiri," kata Firman. "Revisi UU KPK bisa dilakukan pada 2016 atau 2017 atau 2018, tergantung kapan KUHAP selesai.”

Rencana Firman tersebut sama dengan yang sebelumnya ditawarkan oleh KPK saat mereka menggelar rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI. Dalam rapat tersebut, pelaksana tugas Ketua KPK Taufiqurahman Ruki setuju UU KPK direvisi asal tidak melemahkan KPK dan dilaksanakan setelah sinkronisasi KUHP, KUHAP, dan beberapa UU lain dilakukan.

Namun dengan adanya penolakan dari Jokowi, maka Firman pun kembali mempertanyakan konsistensi pemerintah dalam hal membahas revisi UU, termasuk UU KPK. Sebelumnya di Istana Negara, Ruki mengungkapkan, Presiden Jokowi menolak rencana dan usul revisi UU KPK. Penolakan dilakukan karena Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi ditujukan untuk kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah, namun KPK akan tetap membantu mengawasi.

"Pesan Presiden untuk KPK, Kejaksaan, dan Polri bekerja secara sinergi, tetapi yang paling menggembiarakan, dengan tegas Presiden mengatakan bahwa tidak ada keinginan Presiden melemahkan KPK. Oleh karena itu, revisi UU KPK, Presiden menolak," ujar Ruki.

Pernyataan itu disampaikan Ruki dalam konferensi pers yang dilakukan setelah rapat terbatas (ratas) soal strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Jumat (19/6).

Ruki mengaku, keputusan yang diambil Jokowi telah membuat KPK lega dan bebas dari rasa saling curiga. Selanjutnya, pencegahan dan penindakan korupsi akan tetap berjalan seperti yang selama ini telah dilakukan.

Sementara itu beberapa hari sebelumnya, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2015. Hal tersebut diputuskan melalui rapat yang dilakukan Badan Legislasi DPR bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly.

Revisi UU ini sudah masuk ke dalam daftar panjang Prolegnas periode 2015-2019. Namun Yasonna menilai RUU KPK ini perlu dimasukan dalam Prolegnas prioritas 2015 karena UU KPK saat ini dapat menimbulkan masalah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

"Perlu dilakukan peninjauan kembali seperti penyadapan yang tidak melanggar HAM, dibentuk dewan pengawas, pelaksanaan tugas pimpinan, dan sistem kolektif kolegial," ujar Yasonna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/6). (pit)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER