Jakarta, CNN Indonesia -- Penerbitan Surat Edaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 320/KPU/VI/2015 berpotensi menciptakan politik dinasti pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal ini lantaran KPU tidak menganggap pejabat yang mengundurkan diri sebelum pendaftaran pilkada sebagai petahana.
Dalam surat tersebut terdapat beberapa poin krusial mengenai gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati atau wakil bupati tidak termasuk petahana jika masa jabatannya belum berakhir sebelum masa pendaftaran; mengundurkan diri sebelum masa jabatan berakhir sebelum pendaftaran dan berhalangan tetap sebelum masa jabatan berakhir menjelang pendaftaran.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz mengatakan, surat edaran KPU justru memutarbalikan arti petahana yang sudah diatur dalam peraturan KPU.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini akan menjadikan polemik baru mengenai legalitas siapa yang boleh mencalonkan diri di pilkada. Yang dilakukan KPU dalam mendefinisikan petahana terlalu buru-buru, seharusnya KPU menunggu hasil keputusan Mahkamah Konstitusi yang sedang menguji masalah ini," kata Donald, kemarin.
Untuk mengatasi terjadi politik dinasti, Donald mengatakan KPU sebaiknya menarik kembali surat edaran yang sudah dikeluarkan. Kementerian Dalam Negeri juga diminta menolak pengunduran diri kepala daerah dan mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) mempercepat proses persidangan pengujian calon kepala daerah yang tidak boleh memiliki kepentingan dengan petahana.
(rdk)