Jakarta, CNN Indonesia -- Dua orang tua korban pelanggaran hak asasi manusia mengajukan permohonan uji materil (judicial review) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ke Mahkamah Konstitusi, hari ini.
Mereka adalah Ruyati Darwin, ibunda Eten Karyana salah satu korban pada kerusuhan Mei 1998 dan Payan Siahaan, ayah Ucok Munandar yang diduga diculik dan dihilangkan paksa sekitar tahun 1997.
Didampingi beberapa aktivis Komisi untuk orang Hilang dan Korban Kekerasan sebagai kuasa hukum, keduanya menjalani sidang pemeriksaan pendahuluan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chrisbiantoro, kuasa hukum Ruyati dan Payan mengatakan, melalui permohonan judicial review ini mereka ingin mendorong hakim-hakim MK menafsirkan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM.
Dia menilai, aturan tersebut tidak secara rinci mengatur alasan-alasan yang memungkinkan jaksa agung mengembalikan berkas penyelidikan kepada Komnas HAM.
"Pasal itulah yang menjadi batu ganjalan selama ini. Betul jaksa agung punya kewenangan meminta perbaikan, tapi harus jelas petunjuknya, misalnya apa kekurangan bukti yang dikumpulkan Komnas HAM," ujarnya kepada CNN Indonesia usai sidang, Kamis (25/6).
Chrisbiantoro memaparkan, Kejaksaan Agung dan Komnas HAM sampai saat ini terus saling lempar berkas penyelidikan tujuh kasus dugaan pelanggaran HAM. Akibatnya, kasus-kasus itu tidak pernah jelas apakah berlanjut ke tahap berikutnya atau dihentikan.
Mereka adalah korban pada tragedi 1965, penembakan misterius, kasus Wamena-Wasior, penculikan aktivis tahun 1997 dan Talangsari.
Sebelumnya, pemerintah telah membentuk tim khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM tersebut melalui mekanisme rekonsiliasi.
Tim itu terdiri dari Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Polri, Tentara Nasional Indonesia dan Kementerian Hukum dan HAM dan dikoordinatori oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.
(meg)