Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Edward OS Hiariej meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) membatasi tindak pidana kejahatan yang dapat menyebabkan seorang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberhentikan sementara. Alasannya, untuk mencegah diskriminasi kepada pimpinan komisi antirasuah.
Pernyataan tersebut ia lontarkan saat bersaksi pada sidang gugatan Pasal 32 Ayat 2 UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung MK, Jakarta, Rabu (10/6). Edward berpendapat, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945.
"Pasal harus dibatalkan dan tidak berlaku kecuali ditafsirkan tindak pidana yang dimaksud adalah korupsi, terorisme, narkotika, pelanggaran HAM, mengancam keamanan negara, atau tindak pidana yg diancam 10 tahun ke atas," ujar Edward di Gedung MK, Jakarta, Rabu (10/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Edward mengilustrasikan, apabila majelis hakim kontitusi tak membatasi pasal dalam UU KPK, maka dapat disalahgunakan dengan menetapkan pimpinan sebagai tersanga tindak pidana ringan. "Apabila seorang pimpinan KPK menelantarkan hewan peliharaan, apakah juga diberhentikan sebagai pimpinan? Meski ancaman hanya tiga bulan tapi termasuk tindak pidana kejahatan," ujarnya. (Baca juga:
Disebut 'Kuda Troya', Ruki Ditantang Buka Kriminalisasi KPK)
Selain itu, Edward juga menyoroti pembatasan berupa waktu pelaksanaan tindak pidana. Menurutnya, pimpinan dapat diberhentikan jika tindak pidana dilakukan saat menjabat sebagai komisioner. "Sebab untuk menjadi pimpinan KPK, mengikuti seleksi yang ketat. Kalau mempunyai masalah hukum, harusnya pansel dan DPR tidak menyeleksi," ucapnya.
Lebih lanjut, Edward menjelaskan apabila tanpa pembatasan jenis kejahatan dan waktu pelaksanaan maka pemberhentian pimpinan KPK dapat melanggar asas praduga tak bersalah. "Jaminan kepastian hukum diabaikan. Terlebih, tindak pidana dilakukan sebelum menjabat sebagai pimpinan KPK," katanya.
Senada dengan Edward, pakar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra menjelaskan pembatasan kejahatan diperlukan untuk melindungi pimpinan KPK dan menutupi kelemahan pasal tersebut. Pembatasan dilakukan terhadap ruang lingkup waktu dan jenis tindak pidana.
"Yang dilakukan adalah pemilahan tindak pidana yang dapat diberhentikan (kategori berat) dan yang tetap menjabat sampai ada putusan berkekuatan hukum tetap," ujar Saldi.
Saldi menjelaskan jika pasal tersebut tak dibatasi demikian, maka pimpinan KPK rawan dikriminalisasi. Hal tersebut yang dialami oleh pimpinan nonaktif KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. (Baca juga:
Hindari Kriminalisasi, Polri Siap Terapkan Batas Usang Kasus)
"Serangan balik yang menggunakan kuasa seperti kepolisian, mengganggu upaya pemberantasan korupsi. Dengan menetapkan pimpinan KPK jadi tersangka, penindakan KPK tersendat," katanya.
Saldi berpendapat selama ini yang dialami Samad dan Bambang merupakan upaya pelemahan dengan mengatasnamakan penegakan hukum. Menurutnya, dengan menggunakan celah pasal 32 ayat 2 UU KPK, banyak pihak terancam dalam proses hukum yang kelihatannya benar.
"Sebagai penegak hukum penyidik mungkin menggunakan ruang untuk melumpuhkan KPK dan menetapkan pimpinan KPK sebagai tersangka sekalipun sumir. Dengan itu, pimpinan KPK diberhentikan sementara," ucapnya.
Sebelumnya, penyidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap Bambang pada Jumat (23/1). Bambang ditetapkan tersangka untuk kasus mengarahkan kesaksian palsu saat dirinya bersengketa di Mahkamah Konstitusi, Juni 2010 silam. Sementara itu, Samad ditetapkan sebagai tersangka kasus dokumen palsu.
Penetapan tersangka keduanya, menyusul ditetapkannya bekas calon tunggal Kapolri Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh KPK sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi. Dugaan tindak pidana tersebut menyebabkan penggelembungan rekening Budi.
Beberapa pekan kemudian, Presiden Joko Widodo membatalkan pencalonan Budi. Selain itu, Jokowi memberhentikan sementara Bambang dan Samad serta menunjuk tiga Pelaksana Tugas Pimpinan KPK. Ketiganya yakni mantan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki, pakar hukum Indriyanto Seno Adji, dan mantan Deputi Pencegahan KPK Johan Budi.
(hel)