Jakarta, CNN Indonesia -- Keadilan masih sulit didapatkan bagi perempuan penyandang disabilitas ketika menghadapi proses hukum. Banyak dari korban penyandang disabilitas yang menarik proses hukumnya karena diskriminasi yang mereka terima dan status mereka yang dianggap tidak cakap hukum.
Menurut Siti Mazumah, koordinator pelayanan hukum LBH APIK Jakarta, pada 2014 lembaganya mendampingi enam kasus perkosaan yang dialami perempuan disabilitas. Dari jumlah tersebut hanya satu kasus disabilitas anak yang sampai putusan di pengadilan. Kebanyakan dari korban menarik proses hukumnya kembali.
(Lihat Juga: Parlemen Dinilai Tak Akomodir Kepentingan Kelompok Marjinal)"Karena untuk perempuan yang mengalami kekerasan khususnya disabilitas untuk bicara dia sebagai korban itu sulit sekali karena mereka tidak cakap hukum. Jika keluarga tidak menyetujui proses hukum itu kasusnya tidak berjalan. Akibatnya, korbannya tetap merasakan penderitaannya," kata Zuma sapaan Siti Mazumah, pada Selasa (30/6).
(Lihat Juga: Mendengar Isi Hati Kaum Disabilitas untuk Kebutuhan Seksual)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Zuma mengatakan perempuan korban disabilitas mengalami berbagai hambatan dan kesulitan dalam memberikan kesaksian, seringkali kesaksian mereka diragukan oleh aparat penegak hukum. Selain itu mereka juga kerap mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak mulai dari pelaku kejahatan hingga aparat penegak hukum.
"Diamnya seorang disabilitas itu beda. Mungkin intimidasi yang dilakukan penyidik itu tidak dianggap intimidasi, tapi bagi mereka itu merupakan intimidasi," kata Zuma.
(Lihat Juga: Harapan Kaum Disabilitas soal Posisi Mensos)
Selain tidak cakap hukum, kendala bagi penyandang disabilitas mendapatkan keadilan adalah ketiadaan penerjemah memadai dalam proses pengadilan. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana (KUHAP) pasal 178 tercatat penyediaan penerjemah hanya diperuntukan bagi disabilitas jenis tuna wicara dan tuna rungu pada proses kesaksian di pengadilan menyebabkan kepolisian tidak menyediakan penerjemah dalam proses hukum penyandang disabilitas.
Zuma mengatakan KUHAP yang ada juga belum mengakomodir kepentingan disabilitas jenis lain seperti pengidap gangguan mental dan intelektual, tuna netra, gangguan perilaku dan hiperaktivitas (ADHO), bipolar, gangguan kesehatan jiwa serta tuna grahita untuk mendapatkan hak akses penerjemah.
Zuma mengatakan akses penerjemah sangat penting karena banyak kasus yang tidak berjalan karena tidak ada psikolog serta penerjemah. Korban penyandang disabilitas juga dianggap tidak cakap hukum sehingga keteragan-keterangan yang diberikan mudah dipatahkan.