Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyatakan pemerintah bersikap terbuka terhadap aspirasi publik terkait aturan baru program Jaminan Hari Tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Berdasarkan regulasi baru itu, karyawan baru boleh mengambil dana JHT setelah 10 tahun bekerja, tidak seperti lima tahun masa kerja seperti di aturan lama.
“Mungkin butuh sosialisasi lebih lanjut dan perlu masa transisi dari regulasi lama ke regulasi baru,” kata Hanif dalam keterangan tertulis yang diterima CNN Indonesia. (Baca juga:
BPJS Akui Penerapan Aturan Baru Jaminan Hari Tua Terburu-buru)
Pemerintah juga membuka diri terhadap solusi lain sebagai bentuk respons terhadap realitas penolakan yang berkembang di masyarakat. Alternatif solusi, ujar Hanif, akan dikaji dan dikoordinasikan dengan BPJS Ketenagakerjaan dan berbagai instansi terkait. (Baca juga
Dede Yusuf: Apa Jokowi Sudah Baca Isi PP BPJS yang Dia Teken?)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenapa harus menunggu 10 tahun masa kerja baru boleh mengambil dana Jaminan Hari Tua? Hanif menjelaskan, JHT memang berfungsi sebagai perlindungan bagi pekerja saat mereka tak lagi profuktif, baik karena cacat, meninggal, maupun memasuki usia tua.
“Dana JHT diberikan kepada para peserta BPJS Ketenagakerjaan secara gelondongan saat tidak lagi produktif, sehingga masa tua mereka terlindungi,” ujar Hanif.
Skema tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang menyebut pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah yang diteken Presiden Jokowi pada Selasa (30/6), diatur bahwa setelah 10 tahun bekerja, karyawan dapat mengambil dana JHT sebesar 10 persen dari saldo total. Sementara jumlah sisanya diambil setelah pekerja tak lagi produktif, yakni saat berusia 56 tahun.
Di luar itu, dana JHT bisa diambil 30 persen untuk uang muka perumahan jika pekerja hendak membeli rumah.
Regulasi baru saat ini juga mengatur bahwa jika pekerja dipecat atau mengalami pemutusan hubungan kerja, maka dia mendapat pesangon. Selanjutnya apabila dia bekerja kembali atau pindah tempat bekerja, kepesertaannya di BPJS Ketenagakerjaan dapat berlanjut.
“Jika pekerja meninggal sebelum usia 55 tahun, maka ahli waris berhak atas manfaat Jaminan Hari Tua. Itu ketentuan UU SJSN,” kata Hanif.
Aturan-aturan itu, ujar Hanif, jelas berbeda dengan aturan sebelumnya yang tertuang dalam UU Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan dijabarkan dalam PP Nomor 1 Tahun 2009. Regulasi lama mengatur dana JHT dapat dicairkan setelah lima tahun bekerja dengan waktu tunggu satu bulan. Selain itu, seluruh dana JHT cair setelah usia pekerja mencapai 55 tahun atau meninggal atau di-PHK.
Berdasarkan aturan lama, jika pekerja di-PHK padahal masa kerjanya baru tiga tahun, maka pencairan dana JHT tetap harus menunggu sampai lima tahun, bukannya mendapat pesangon seperti yang ada pada aturan baru.
“Dalam UU SJSN tidak ada
excuse kalau terjadi PHK,” ujar Hanif.
Intinya, kata Hanif, Peraturan Pemerintah Jaminan Hari Tua yang baru sebagai turunan UU SJSN hendak mengembalikan fungsi JHT sebagai skema perlindungan hari tua saat pekerja tak lagi produktif.
“Kalau peserta di-PHK lalu dana JHT bisa dicairkan semua, itu bertentangan dengan UU SJSN dan keluar dari spirit perlindungan masa tua. JHT selama ini dikesankan seolah-olah seperti tabungan biasa. Jadi begitu dikembalikan ke spirit perlindungan hari tua, timbul kerisauan walau dananya tidak hilang,” kata Hanif.
Menteri asal PKB itu mengatakan, skema jaminan sosial yang saat ini mencakup 4 program, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Pensiun (JP) sesungguhnya menutupi seluruh risiko pekerja.
“Saat kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun, semua ada
coverage-nya. Masing-masing punya fungsi dasar dan mekanisme sendiri,” kata Hanif.
Pada akhirnya, ujar Hanif, program-program tersebut sesungguhnya dinilai pemerintah sebagai terobosan baru demi meningkatkan perlindungan sosial dan kesejahteraan pekerja.
(agk)