Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) Jumisih meminta agar pengelolaan program Jaminan Hari Tua (JHT) oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dapat lebih transparan. Ia pun menilai selama ini sosialisasi terkait program tersebut masih minim, terutama ke kaum buruh.
"Selama ini buruh tidak pernah tahu seperti apa pengelolaan JHT, manajemennya seperti apa, dan lainnya. Banyak hal yang kami tidak ketahui. Sosialisasinya tidak sampai ke buruh," kata Jumisih saat dihubungi pada Sabtu (4/7).
(Lihat Juga: FOKUS Menolak Aturan Baru BPJS)Ia berpendapat selama ini serikat buruh tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan JHT. Padahal, kata Jumisih, buruh sangat berharap dapat diajak dalam pembicaraan pengelolaan JHT oleh pemerintah.
(Lihat Juga: Jokowi: Revisi PP BPJS karena Rakyat Masih Berpikir Pendek)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sadar niat pemerintah baik. Namun, ada baiknya kami juga diajak bicara terkait ini karena yang dikelola juga merupakan uang buruh," katanya.
Jumisih juga mengaku terkejut ketika BPJS Ketenagakerjaan mengeluarkan aturan baru JHT. Alasannya, kebijakan baru BPJS Ketenagakerjaan menyatakan pencairan JHT baru bisa dilakukan bila karyawan telah menjalani masa kerja selama sepuluh tahun. Padahal sebelumnya hanya mewajibkan masa kerja lima tahun.
Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa untuk persiapan hari tua, saldo yang dapat diambil hanya sepuluh persen dan untuk pembiayaan perumahan saldo yang dapat diambil hanya 30 persen. Sementara, pencairan dana secara penuh baru bisa dilakukan ketika peserta berusia 56 tahun.
(Baca Juga: JK: Aturan Baru BPJS Ketenagakerjaan akan Dibahas Kembali)Namun, lantaran mengalami banyak penolakan, pemerintah akhirnya berinisiatif merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Jaminan Hari Tua (JHT). Dalam revisi itu, para pekerja yang dipecat atau tidak lagi bekerja bisa mencairkan JHT sebulan setelah kehilangan pekerjaannya.
Menanggapi revisi tersebut, Jumisih menyatakan itu merupakan langkah yang baik. Namun, ia masih menyayangkan adanya persyaratan masa kerja sepuluh tahun untuk pencairan dana yang hanya sepuluh persen.
"Pemerintah harus paham kondisi buruh. Kondisi ekonomi kami tidak menentu. Ada kalanya kami dalam kondisi sangat membutuhkan uang. Masa tidak bisa mencairkan uang kami sendiri? Aturan ini memberatkan buruh," katanya.
Di sisi lain, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya berpendapat kebijakan baru lebih ideal daripada sebelumnya yang menetapkan pencairan JHT bisa dilakukan ketika seseorang telah bekerja selama lima tahun. Dengan jangka waktu sepuluh tahun, kata Elvyn, dana yang terkumpul akan lebih banyak dan sesuai untuk hari tua.
"Namanya juga Jaminan Hari Tua, jadi dananya memang diperuntukkan untuk hari tua. Masa kerja sepuluh tahun lebih ideal," katanya.
(utd)