Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih berlanjut. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menilai BPK telah melakukan tiga hal yang merugikan pemerintah ibu kota.
Ketiga hal itu adalah, BPK tidak menyerahkan laporan kepada gubernur saat rapat paripurna di DPRD Jakarta secara langsung, Senin (6/7), dan hanya menyerahkan satu buku laporan kepada DPRD DKI Jakarta.
Gubernur Ahok menyoroti langkah BPK yang datang dan menyerahkan laporan itu kepada Sekretaris Daerah (Sekda). "Seinget saya waktu jadi bupati, laporan BPK dikasih ke kepala daerah. Di paripurna kali ini kok tidak?" kata Basuki di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika dikonfirmasi kepada Sekretaris DPRD DKI Jakarta Ahmad Sotar Harahap, dia mendapat jawaban kalau tahun lalu juga tidak ada penyerahan laporan BPK kepada gubernur. Menurut dia, pada saat paripurna, BPK memang hanya menyerahkan laporan kepada DPRD. Sementara laporan untuk gubernur memang diberikan di waktu terpisah.
Tidak yakin dengan hal tersebut, Ahok sampai mengecek kebenaran penyerahan laporan tersebut melalui video. Bahkan dia sempat bertanya kepada Presiden Joko Widodo.
"Saya tanya ke Pak Jokowi, dia jawabnya sama. Waktu jadi wali kota dia juga terima. Tapi kenapa kali ini saya tidak terima," kata Ahok.
Kedua, Pemprov DKI Jakarta juga merasa tersinggung tidak diberikan kesempatan untuk memberikan sambutan dalam rapat paripurna. Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budihartono mengatakan, tindakan tersebut merupakan hal yang fatal.
"Gubernur tidak diberi kesempatan memberikan hak jawab sebagai pemimpin daerah," ujar Heru di Jakarta.
Padahal dia sudah menyiapkan sambutan untuk dibacakan gubernur pada rapat paripurna. Terkait hal tersebut, Sotar Harahap menjawab, kesempatan gubernur memberikan pidato ada di BPK, bukan pada DPRD sebagai penyelenggara paripurna. "Itu hajatan BPK. Jadi pada saat itu, BPK yang menyusun acara. Di susunan itu tidak ada (pidato gubernur)," ujar Sotar.
Dari kedua masalah tersebut, yang paling merugikan menurut Pemprov DKI Jakarta adalah tidak ada pengecekan kembali laporan BPK terhadap Pemprov DKI Jakarta sebelum laporan tersebut dilempar ke paripurna.
"Seharusnya konsep laporannya diberikan ke Pemda dulu supaya bisa meminimalisasi kesalahan. Saling kroscek. Itulah perlunya proses yang diserahkan dulu sebelum ke paripurna," kata Heru.
Akibat tidak dilakukan pengecekan, banyak laporan BPK yang dianggap keliru oleh Pemprov DKI. Salah satunya terkait pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras yang dinilai merugikan daerah sebanyak Rp 191 miliar karena terlalu mahal.
Pemprov menuding temuan BPK tersebut keliru sebab BPK mengambil lokasi yang berbeda, yaitu di belakang Rumah Sakit Sumber Waras untuk menentukkan ukuran harga pembelian lahan. Menurut Heru, seharusnya BPK mengukur harga dengan tanah di sebelah RS.
Tidak hanya itu, Heru menyatakan masih banyak lagi temuan BPK yang dianggap keliru. Akibatnya DKI Jakarta mendapatkan status Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari hasil audit keuangan BPK.
Yang disayangkan Heru, kendati mereka sedang berusaha membuktikan kekeliruan laporan BPK, namun status audit BPK tidak akan berubah. Pejabat terkait pun terancam terkena hukuman.
"Setelah 60 hari hak jawab,
akan berlanjut ke penegak hukum karena itu dinilai kerugian negara, tidak dihukum, tapi diminta mengembalikan. PNS terkait juga terkena hukuman disiplin. Berarti dia tidak bisa naik pangkat," kata Heru.
(rdk)