Karubaga, CNN Indonesia -- Kabar adanya kerusuhan di Distrik Karubaga, Tolikara, Papua, menyebar secepat api yang melalap deretan bangunan di daerah itu. Situasi genting pada Hari Raya Idul Fitri (17/7) itu terdengar hingga distrik tetangga.
Neri Yikwa, Kepala Suku Yikwa penganut Kristen dari Distrik Poganeri yang bersebelahan dengan Distrik Karubaga, mendengar rumah karibnya, Ustaz Ali Mukhtar, ikut terbakar. Neri segera menyuruh sekelompok pemuda adat untuk membantu pemadaman api.
“Coba kau padamkan (api) di rumah Bapak Ali,” ujar Neri memberi perintah kepada anak buahnya. Hal itu dikisahkan pemuda Distrik Poganeri, Diben Yikwa, kepada wartawan CNN Indonesia, Aghnia Adzkia, yang menemuinya di Tolikara, Kamis (23/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Neri tak mau Ustaz Ali yang sudah ia anggap saudara itu bersedih lantaran rumahnya dilahap si jago merah.
Mendengar instruksi sang Kepala Suku, Diben bersama kawan-kawannya langsung berlari dari distrik mereka ke Karubaga. Diben segera menuju rumah saudara muslim tetua adatnya itu. Letak rumah Ali tak jauh dari kios dan musala di terminal setempat.
Diben dan teman-temannya sebisa mungkin berusaha memadamkan api. Sayang upaya mereka harus terhenti sebelum rampung. Situasi tegang.
Puluhan batu dan balok kayu melayang di udara. Massa penyerang yang menyebabkan kebakaran di Tolikara, mengamuk kian menjadi.
"Mereka lempar batu dan kayu. Jadi kami ikut kena. Kami juga takut," ujar Diben.
Melihat amukan massa makin menjadi-jadi, aparat Kepolisian segera memantik pelatuk senapan. Rentetan tembakan dilontarkan. Selongsong timah panas merangsek ke tubuh 12 orang yang diduga pelaku penyerangan.
Endi Wanimbo (15) yang turut dalam penyerangan, meninggal dunia karena kehabisan darah akibat luka tembak. Sementara 11 orang lainnya dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Wamena, Kabupaten Jayawijaya, dan RSUD Dok 2 Jayapura.
Suasana semakin ricuh dengan teriakan warga yang merasa terancam dengan amukan massa. Diben dan teman-temannya pun segera berlindung dari amukan massa.
Mandat Kepala Suku tak dapat dilaksanakan. Rumah Ali hangus terbakar seluruhnya. Ludes rata dengan tanah.
Cerita Diben itu dibenarkan Ustaz Ali. "Sebenarnya kalau saja rumah saya aman, pasti yang lain aman juga. Tapi tidak berhasil," kata Ali kepada CNN Indonesia.
Apapun, Ali amat berterima kasih dengan Neri sang Kepala Suku yang telah berupaya membantunya. Bagi Ali, Neri sudah seperti keluarga sendiri.
Keakraban Muslim-KristenSembilan tahun Ali menetap di Tolikara, sentimen antaragama tak pernah terjadi. Ali bertutur, hubungannya dengan para pendeta dan kepala suku distrik lain yang beragama Kristen laiknya keluarga yang terikat pertalian darah.
"Saya kenal gembala-gembala dan pendeta di sini. Saya kan kalau ada duka (orang meninggal), datang. Dari situ saya kenal masyarakat dan pendeta yang datang," ujarnya.
Ali tak hanya sendiri datang melayat ke penganut Kristen yang wafat. Ia juga mengajak keluarga dan tetangga muslim lainnya.
"Misal (ada yang meninggal) di distrik berbeda, (sudah) malam, ya saya tetap datang," ucap Ali.
Ia bercerita, pernah suatu malam pintu rumahnya diketuk orang. Dengan tergopoh-gopoh, orang itu mengabarkan kepada Ali bahwa ada warga yang meninggal dunia.
"Pak Guru, Pak Guru, ada duka di sana. Kalau Pak Guru tidak bisa datang, nanti saya bawakan (pemberian),” begitu ucap orang tersebut, seperti ditirukan Ali.
Ali memang biasa membawakan sesuatu bagi keluarga yang ditinggal wafat. Meski pemberian itu hanya sedikit seperti mi instan, kata Ali, itu amat berarti buat warga.
Selain berkunjung kala duka, Ali kerap mengikuti tradisi kenduri atau syukuran di Tolikara. Tradisi ini disebut dengan istilah 'bakar batu.’
Biasanya, masyarakat setempat menyiapkan tumpukan batu dan rerumputan dalam empat baris berbeda di sebuah tanah lapang. Di Tolikara, upacara bakar batu biasa dilangsungkan di sebuah tanah lapang dekat Bandar Udara Karubaga.
Selanjutnya, warga memanggang jagung dan wam – istilah orang lokal untuk babi– di atas batu. "Mereka mengerti kami umat muslim tidak makan wam, jadi bakar ayam," ucap Ali. (Baca juga:
Warga Tolikara akan Kenduri, Acara Potong Babi Diganti Sapi)
Selain acara bakar batu, keakraban lain muncul dari kebiasaan mereka mengobrol dan bersenda gurau di kios atau rumah makan.
Ali mengatakan kerap mengundang Neri si Kepala Suku Yikwa dari Distrik Poganeri, dan Ketua Kantor Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara, Pendeta Nayus Wenda, untuk bertandang ke rumahnya.
"Misalnya saya ada makanan sedikit, mereka saya panggil (ke rumah). Kalau tidak ada makanan, ya ketemu saja ngobrol-ngobrol," kata Ali.
Muslim ikut jaga gerejaKerukunan yang telah dipupuk bertahun-tahun itu kentara saat pelaksanaan hari besar agama Kristen dan Islam. Saat perayaan Natal, Ali dan muslim Tolikara ikut menjaga gereja.
Di Tolikara, sedikitnya terdapat dua gereja yang kerap dikunjungi warga sekitar untuk merayakan kelahiran Yesus Kristus, yakni Gereja Ebenezer dan Yerusalem.
"Saat Natal, saya juga ikut mengamankan. Dua kali saya ikut,” kata Ali.
Hal serupa juga dilakukan saat Hari Raya Idul Fitri. Sejumlah warga Kristen turut mengamankan pelaksanaaan ibadah umat Islam itu.
Sebelum menggelar salat Id, Ali selalu mengabarkan lebih dulu kepada tokoh Kristen setempat. Para pendeta kemudian turut meminta umatnya untuk mengamankan pelaksanaan salat Id.
"Aturan di sini, ibadah muslim selain minta pengamanan ke Polres, ada pemberitahuan ke tokoh gereja. Ini sudah kami lakukan. Kalau ibadah sudah selesai dan Pak Pendeta tidak ada, saya telepon. 'Ini acara sudah selesai. Terima kasih'," cerita Ali.
Ali meyakini toleransi antarumat beragama ini merupakan nilai yang telah tertanam di Tolikara sejak puluhan tahun silam. Ia juga bercerita, pembangunan musala di kawasan dekat markas Komando Rayon Militer Tolikara merupakan hasil dari pemberian tanah uayat milik umat Kristen.
Cerita serupa dituturkan oleh putra daerah keturunan tetua adat Suku Yikwa dan Kogoya di Tolikara, Fiktor Kogoya.
"Kami yang punya tanah ulayat. Maka orangtua saya, tete (kakek) saya, kasih tempat ini (untuk bangun musala)," ujar Fiktor. (Baca selengkapnya:
Kisah Kristen Tolikara Hibahkan Tanah Ulayat untuk Musala)
Tanah untuk pembangunan musala diberikan sesepuh adatnya sebagai bentuk terima kasih kepada umat Islam, sebab muslim yang mayoritas merupakan pendatang dari Jawa Timur ini telah menjadi guru dan pengajar bagi warga lokal di kampung Fiktor.
"Teman-teman yang muslim datang ke sini kan mendidik kami. Mereka membuat kami ada perubahan hidup," kata Fiktor.
Tak pelak, dengan sejarah kerukunan dan toleransi dua umat ini, baik Diben, Ali, maupun Fiktor terkaget-kaget dengan insiden kerusuhan saat Idul Fitri tahun ini.
Ketiganya sepakat menyebut peristiwa itu sebagai "Insiden di luar dugaan kami."
Di satu hari itu, 17 Juli 2015, sejarah bagai dibelokkan di Tolikara.
Namun warga Tolikara tak hendak berlama-lama kaget, terheran-heran, dan bertanya-tanya.
Satu hari usai kerusuhan, Ustaz Ali dan Pendeta Marthen Jingga dari GIDI langsung berjabat tangan, sepakat membangun kembali Tolikara bersama-sama dan mengembalikan kedamaian di tanah mereka.
[Gambas:Video CNN] (agk)