Jakarta, CNN Indonesia -- Gubernur Kalimantan Barat Cornelis mengatakan tidak mau dituduh sebagai penghancur hutan karena mengizinkan perkebunan sawit maupun pertambangan merambah wilayahnya. Menurut Cornelis, tidak semua tanaman sawit bersifat merusak.
"Perkebunan sawit kami tidak semuanya terbuka seperti di Amerika Serikat, Eropa, dan New Zealand. Sawit kami tertutup dan banyak menghasilkan oksigen," kata Cornelia dalam pertemuan Satuan Tugas Gubernur untuk Iklim dan Hutan di Jakarta, Rabu (29/7).
"Jangan dianggap kami merusak hutan.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Zenzi Suhadi mengatakan, pernyataan Cornelis merupakan pemahaman yang salah. Kalaupun sawit menghasilkan oksigen, hasilnya tidak akan sama dengan oksigen yang dihasilkan hutan heterogen.
"Walaupun sawit menghasilkan oksigen, tapi berapa banyak karbon yang dilepaskan dari proses land clearing. Berapa banyak karbon yang dilepaskan dari kawasan gambut yang dikanalisasi perkebunan kelapa sawit," kata Zenzi ketika dihubungi CNN Indonesia.
Zenzi juga menjelaskan, klaim kalau sawit bisa ramah lingkungan pun tidak benar. Daerah yang hutannya berubah menjadi kebun kelapa sawit relatif akan mengalami peningkatan suhu dan memicu kekeringan di sekitar perkebunan kelapa sawit.
"Kebun sawit menyebabkan kebakaran dan merusak lingkungan karena mengubah hutan tropis yang heterogen menjadi monokultur. Sehingga tidak dapat menyerap panas," ujar Zenzi.
"Tanaman monokultur mengubah mata rantai siklus hidrologi sehingga kekeringan terjadi. Proses kebakaran lahan gambut pun akan cepat."
Menurut data yang dikeluarkan oleh Lembaga Titian bersama Eye On The Forest di Kalimantan Barat saja ada sebanyak 217 jumlah titik api (hot spot) dan 124 diantaranya berasal dari perkebunan kelapa sawit.
Data dari WALHI menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan di 66 kabupaten pada 5 Provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat mengalami peningkatan dari tahun 2011. Pada tahun 2011, ditemukan sebanyak 18.789 titik api dan pada tahun 2014 naik menjadi 20.253 titik api.
"Kecenderungan di Sumatera mengalami peningkatan intensitas kejadian kebakaran hingga dua kali kebakaran dalam satu tahun,” tutur Zenzi.
Dua kali kebakaran dalam satu tahun itu terjadi pada bulan Februari-Mei dan Oktober-November 2014. Sementara di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat mulai terjadi peningkatan titik api.
(rdk)