Pasal Penghinaan Presiden Dihapus Setelah Tuduhan Jaguar SBY

Abraham Utama | CNN Indonesia
Selasa, 04 Agu 2015 15:50 WIB
MK pada 2006 silam menyatakan delik penghinaan terhadap presiden sebagaimana diatur pasal 134, 136, dan 137 pada KUHP bertentangan dengan UUD 1945.
Ilustrasi KUHP. (Detikfoto/Ari Saputra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi pada 2006 silam menyatakan delik penghinaan terhadap presiden sebagaimana diatur pasal 134, 136, dan 137 pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan para hakim konstitusi bernomor 014-022/PUU-IV/2006 tersebut bermula dari pemidanaan terhadap advokat Eggi Sudjana.

Eggi, yang belakangan dikenal publik setelah menjadi kuasa hukum Komisaris Jenderal Budi Gunawan, saat itu dilaporkan ke kepolisian oleh Bripka Ahmad Fadilah, seorang anggota Satuan I Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum bernama Polda Metro Jaya, atas dugaan menghina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Laporan Ahmad didasarkan pada pernyataan Eggi yang menyebut SBY dan beberapa pejabat di lingkaran Istana Negara menerima sejumlah mobil Jaguar dari pengusaha Hary Tanoesoedibjo.

Perkara tersebut terus bergulir hingga Eggi dicekal berpergian ke luar negeri dan menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Eggi lantas mengajukan judicial review ke MK. Ia menganggap delik penghinaan presiden bertentangan dengan pasal 28F UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh, menyimpan dan menyampaikan informasi melalui berbagai saluran yang tersedia.

Ahli hukum pidana Mardjono Reksodiputro yang memberikan pendapatnya di depan majelis hakim pada persidangan mengungkapkan, delik penghinaan terhadap presiden tidak lagi dibutuhkan karena substansinya serupa dengan pasal 310 dan pasal 321 KUHP.

Lebih dari itu, ketua Tim Penyusun RUU KUHP periode 1987 hingga 1992 ini berpendapat, delik tersebut tidak sesuai dengan konsep demokrasi yang dianut Indonesia.

"Dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dasar dalam masyarakat demokratik yang modern, delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah," ucapnya sebagaimana CNN Indonesia kutip dari risalah sidang.

Hal senada dinyatakan pakar hukum pidana, Julius Elfinus Sahetapy. Ia berkata, delik penghinaan terhadap presiden akan menghilangkan esensi penerapan KUHP.

"Perlu dibedakan antara kritik dan pencemaran nama baik, fitnah serta penghinaan. Demokrasi bisa berfungsi manakala diimbangi reformasi. Tanpa reformasi, demokrasi akan menjadi huruf mati," ujar Sahetapy kala itu kepada majelis hakim yang dipimpin Ketua MK jilid pertama, Jimly Asshidiqie.

Akhirnya, para hakim konstitusi menyatakan delik penghinaan terhadap presiden yang multi tafsir bertentangan dengan UUD 1945 karena berpontensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dua pertimbangan lain MK untuk membatalkan delik ini adalah potensi terhambatnya hak warga negara menyampaikan dan memperoleh informasi, serta potensi presiden menggunakan delik ini untuk menghindarkan dirinya dari kemungkinan pemakzulan sebagaimana diatur pasal 7A UUD 1945.

Dari sembilan hakim, empat orang di antaranya mengajukan dissenting opinion, yakni I Dewa Gede Palguna, Soedarsono, Ahmad Syarifuddin Natabaya, dan Achmad Roestandi.

Belakangan, delik penghinaan terhadap presiden kembali masuk ke rancangan perubahan KUHP yang akan segera dibahas DPR. Mengomentari hal itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berpendapat, presiden sebagai memang harus mendapatkan penghormataan. (Baca: Yusril: Pasal Penghinaan Presiden Semula Untuk Ratu Belanda)

"Presiden kan kepala negara. Di mana pun di dunia ini, presiden itu dihormati orang. Kalau (orang) memaki-maki atau menghina pesiden, tentu fungsi pemerintahan juga terkena. Jadi wajar saja (pasal itu dihidupkan)," ucapnya di Jakarta, Senin (3/8). (Baca: JK Dukung Pasal Penghinaan Presiden Dihidupkan)

Di sisi lain Ketua Komisi Hukum DPR Aziz Syamsuddin mengatakan, delik penghinaan presiden tidak dapat dihidupkan kembali karena telah dianulir MK.  (Baca: Fadli Zon Khawatir Jokowi Tak Tahu Soal Pasal Hina Presiden)

"Berdasarkan asas hukum yang berlaku, sesuatu yang dibatalkan di MK tidak bisa lagi dibahas atau dihidupkan kembali," katanya.

(obs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER