Populi Center Sebut Wawasan Masyarakat tentang Pilkada Rendah

Tri Wahyuni | CNN Indonesia
Sabtu, 08 Agu 2015 20:08 WIB
Namun demikian antusiasme masyarakat dalam menyongsong pilkada cenderung tinggi berdasarkan survei mereka atas 1200 responden di 10 daerah.
Pasangan calon Walikota/Wakil Walikota Palu, Mulhanan Tombolotutu (kiri) dan Tahmidy Lasahido melambaikan tangan saat akan mendaftar di Kantor KPU Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (28/7). (AntaraFoto/ Basri Marzuki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Populi Center Nico Hardjanto mengatakan pengetahuan masyarakat terkait pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diselenggarakan pada 9 Desember mendatang masih kurang. Kesimpulan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Populi Center di 10 daerah di Indonesia, beberapa di antaranya Surabaya dan Kalimantan Selatan.

"Pengetahuan pilkada serentak memang relatif belum tinggi. Masih sekitar 60 persen dari 1200 responden," kata Nico saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (8/8). (Lihat Juga: FOKUS Politik Acak Pilkada Serentak)

Oleh sebab itu, Nico menganjurkan agar Komisi Pemilihan Umum terus menggencarkan sosialisasi pilkada serentak pada masa perpanjangan pendaftaran calon yang akan dibuka pada tanggal 9 sampai 11 Agustus 2015. (Lihat Juga: Fadli Zon: Jika Masih Tunggal, Angkat Calon Lewat DPRD)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kendati demikian menurut Nico, antusiasme masyarakat dalam menyongsong pilkada cenderung tinggi. Dari survei yang ia lakukan, mayoritas pemilih menyatakan akan menyoblos jika pilkada dilakukan.

"Mereka ditanya, kalau pilkada diadakan hari ini apakah akan menyoblos. Di atas 90 persen menyatakan akan menyoblos," ujar Nico. (Lihat Juga: Calon Tunggal, Masih Menarikkah Pilkada?)

Direktur Eksekutif Study For Indonesia Government Indepth (SIGI) Medrial Alamsyah justru mengatakan hal yang berbeda dengan Nico. Saat ini, masyarakat justru bersikap pragmatis terhadap pilkada. Umumnya masyarakat tidak menjalankan proses pilkada dengan sewajarnya.

Medrial memperkirakan hal ini disebabkan kurangnya pendidikan politik yang seharusnya dilakukan oleh partai politik terhadap masyarakat. Partai politik hanya mencari dukungan dan tidak menjalani fungsinya dengan benar.

"Saya kira masyarakat sudah sakit. Sudah sangat pragmatis, hanya memikirkan kepentingan jangka pendek dan uang receh. Tidak menyadari bahwa ketika mereka salah memilih, maka itu impikasinya lima tahun," kata Medrial.

Petahana Populer
Sementara itu, terkait popularitas calon, Nico mengatakan masyarakat cenderung akan lebih memilih petahana dibandingkan calon-calon baru. Sebab, kata Nico, mereka masih kesulitan untuk mengenal calon-calon baru tersebut secara lebih dalam.

"Kecenderungannya petahana atau incumbent relatif masih sangat kuat. Popularitas dan elektabilitasnya tinggi. Meskipun keinginan calon baru untuk mencalonkan diri juga tinggi," ujar Rico.

Rico pun menyarankan, untuk daerah-daerah yang petahananya memiliki popularitas yang sangat tinggi, calon-calon baru bisa berkoalisi biar lebih mudah dikenal masyarakat.

"Bisa juga calon baru bergabung dengan incumbent agar popularitasnya juga ikut naik. Di beberapa daerah memang ada di luar incumbent, biasanya tokoh lokal," kata Rico.

Medrial mengatakan, amat logis jika petahana memiliki posisi yang kuat dalam pilkada. Namun, bukan berarti calon-calon baru harus menyerah begitu saja.

"Petahana lebih kuat itu logis. Mereka punya banyak alat untuk berhubungan langsung dengan masyarakat. Tapi bukan berarti yang lain harus menyerah," kata Medrial. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER