Jakarta, CNN Indonesia -- Panitia Khusus (pansus) Tindaklanjut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pengawas Keuangan (BPK) kembali mengundang Pemprov DKI Jakarta untuk membahas hasil temuan beberapa waktu lalu. Kali ini, kedua pihak membahas tentang pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
Ada beberapa poin terkait temuan BPK yang menjadi fokus dalam pembahasan yang dilakukan di Gedung DPRD DKI, Selasa (11/8). Pembahasan terkait proses pembelian dan harga beli lahan RS Sumber Waras.
Ketua Pansus Tindaklanjut LHP BPK, Triwisaksana, mengatakan dua hal tersebut menjadi fokus karena pihak Pemprov DKI tidak bisa menjawab temuan BPK tentang lahan Sumber Waras tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permasalahan intinya terletak pada besaran nilai tanah yang digunakan oleh Dinas Kesehatan untuk membeli lahan Rumah Sakit Kanker dan Jantung. Yang seharusnya nilai NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) di Jalan Kyai Tapa Rp20 juta, di Tomang Utara Rp7 juta, tapi dibeli Rp20 juta semuanya," kata Sani, panggilan akrab Triwisaksana saat ditemu usai pertemuan.
Sementara itu Wakil Ketua Pansus Tindaklanjut LHP BPK, Prabowo Soenirman, mengatakan masalah lainnya terletak pada proses pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
Hasil pemeriksaan BPK menunjukkan bahwa penentuan lokasi tanah Rumah Sakit Sumber Waras oleh Plt Gubernur DKI, yang saat itu dijabat oleh Basuki Tjahaja Purnama, senilai Rp755 miliar tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012.
Dalam ketentuan itu disebutkan, penunjukan atau penetapan lokasi tanah untuk pembangunan Rumah Sakit Jantung dan Kanker oleh Plt Gubernur DKI seharusnya berdasarkan dokumen perencanaan, hasil studi kelayakan, konsultasi publik, berita acara kesepakatan lokasi tanah dengan pihak yang berhak dan masyarakat dan usulan penetapan lokasi dari instansi yang memerlukan tanah kepada Gubernur.
Setelah proses tersebut dilalui, barulah kemudian Plt Gubernur DKI menetapkan lokasi tanah yang dilanjutkan dengan proses pengadaan tanah oleh Tim Pelaksana Penagadaan Tanah.
Namun dalam pelaksanaannya, penetapan lokasi tanah justru dilakukan oleh Plt Gubernur DKI melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 2136 Tahun 2014. "Prosedur pembeliannya sudah benar, tapi masalahnya ada di eksekusinya," kata Prabowo.
Oleh sebab itu, pansus pun berencana untuk memanggil Gubernur DKI Jakarta demi mengklarifikasi hal tersebut.
"Kami hanya akan dengar apa sih prosedur yang dilakukan Pak Gubernur. Kami tidak akan tanya apa-apa kok," kata Prabowo.
Secara keseluruhan, dalam pertemuan hari ini, pansus merasa tidak puas dengan jawaban Pemprov DKI.
"Ada beberapa hal yang bisa dimengerti mengenai kebutuhan Pemprov DKI akan rumah sakit kanker dan jantung. Tapi yang tidak dimengerti kenapa tanah yang di belakang membelinya dengan NJOP yang di depan," kata Sani.
"Banyak yang tidak bisa menjawab. Kalau akses ke Jalan Kyai Tapa ditutup menjadi Jalan Tomang Utara, PBB-nya (Pajak Bumi dan Bangunan) kena ke mana, Kyai Tapa atau Tomang?" ujar Prabowo. Hal ini menjadi pertanyaan, sebab tanah itu dalam sengketa.
Dirasa belum menemui titik terang, pansus dan Pemprov DKI pun akan melakukan pertemuan lanjutan. Selain itu pansus juga memastikan bakal mengadakan rapat internal untuk membahas hal tersebut.
"Pansus akan melakukan rapat internal mengevaluasi hasil, juga setelah kunjungan lapangan aset tadi," ujar Sani.
Pemprov DKI klaim proses pembelian lahan sudah benarKepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI Heru Budi Hartono mengatakan semua proses pembelian lahan sudah benar. Bahkan Pemprov DKI bisa menghemat puluhan miliar rupiah.
"Sudah benar, bahkan kami menghemat Rp52 miliar dan kami beli itu anggaran Rp800 miliar yang kami keluarkan Rp717 miliar karena yang kita 5 persen BPHTB (bea perolehan hak tanah dan bangunan) ditanggung mereka, biaya sertifikat ditanggung mereka, gedung kami tidak bayar, notaris kami tidak bayar," ujar Heru.
Sementara untuk besaran nilai NJOP yang dipermasalahkan, Heru mengatakan lahan tersebut memang memiliki dua sertifikat, tapi satu zona.
"Yang saya mau tekankan disini, zona itu tidak terkait dengan akses jalan segala macam. Kalau satu zona ya, satu zona, tidak ada urusan dengan jalan Kyai Tapa tapa atau Tomang," kata Heru.
Heru memisalkan zona di kawasan Menteng. Area kumuh di Menteng pun masih merupakan zona kawasan Menteng. Entah itu aksesnya di pinggir kali atau bukan.
"Yang namanya zona, walaupun dibelah lima atau enam kalau menjadi satu zona, ya zona Rp20 juta itu," ujar Heru.
Sebelumnya, BPK menilai pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras seluas 3,7 hektare untuk membangun pusat pengobatan kanker itu dinilai merugikan Pemprov DKI Jakarta sebanyak Rp191 miliar.
Selisih harga tersebut terjadi karena BPK menemukan perbedaan harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) pada lahan di sekitar Rumah Sakit Sumber Waras dengan lahan rumah sakit itu sendiri. BPK pun sempat mengindikasikan adannya penggelembungan dana.
(meg)