Jakarta, CNN Indonesia -- Polemik soal lembaga Staf Kepresidenan muncul kembali usai Presiden Jokowi melantik menterinya yang baru kemarin di Istana Negara. Ada dua hal yang membuat polemik itu muncul.
Pertama, Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan ternyata menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Luhut kemudian memegang dua jabatan penting, Menko Polhukam dan Kepala Staf Kepresidenan.
Kedua, Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) kembali menunjukkan ketidak kompakan terkait posisi lembaga Staf Kepresidenan. Usai pelantikan, JK mengatakan bahwa Staf Kepresidenan akan berada di bawah Sekretaris Kabinet yang kini dijabat oleh Pramono Anung, politisi senior PDIP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara Jokowi menyatakan bahwa Luhut akan rangkap jabatan. Meski telah ditunjuk menjadi Menko Polhukam, Jokowi menyebut Luhut masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan.
Ketua DPP Bidang Hukum Partai NasDem Taufik Basari menilai bahwa Jokowi dan JK memang perlu berbicara berdua lagi soal Staf Kepresidenan. Pembicaraan itu, lanjut Tobas --begitu dia biasa disapa-- sekaligus untuk mengkaji dan menguji apakah pemerintahan Jokowi-JK masih memerlukan Staf Kepresidenan untuk membantu jalannya roda pemerintah. “Saya kira mereka berdua perlu bicarakan itu,” katanya saat berbincang dengan CNN Indonesia, Kamis (13/8).
Tobas mengungkapkan, Staf Kepresidenan bukanlah konsep yang disepakati berdua oleh Jokowi-JK. Konsep Staf Kepresidenan ini adalah konsep milik Jokowi dan tim kampanyenya sebelum Jokowi resmi berpasangan dengan JK.
Konsep Staf Kepresidenan Jokowi, lanjut Tobas, banyak meniru konsep yang sama di Amerika Serikat yakni menjadi
think-tank bagi Presiden terkait kebijakan dan hal lainnya serta mekukan evaluasi dan pengawasan. Jadi menurut Tobas, Jokowi akan mempertahanan Staf Kepresiden meski JK dalam pernyataannya cenderung tidak setuju.
Tobas menilai Jokowi masih memerlukan Staf Kepresidenan untuk menjalankan tugasnya. Jokowi sebagai Presiden memang telah dibantu oleh menteri-menterinya. Para menteri itu memiliki kerja yang telah ditetapkan demikian juga capaiannya. Hanya saja, untuk meningkatkan kinerja menteri, perlu amatan dari atas yang itu dilakukan oleh Staf Kepresidenan.
“Kalau menteri yang bekerja harian, cenderung melihat di sekelilingnya saja, susah untuk melihat dari atas. Ini yang dilakukan oleh Staf Kepresidenan . Jadi ada evaluasi dari sekitar oleh menteri dan dari atas oleh Staf Kepresidenan. Jika ini digabungkan, maka akan banyak hal yang bisa diperbaiki sehingga kerja menteri bisa lebih baik,” katanya.
Soal apakah Staf Kepresidenan akan berdiri sendiri atau berada di bawah Sekretaris Kabinet, Tobas melihatnya hanya persoalan manajerial semata. Kedua pilihan itu bisa dan boleh dilakukan yang penting, fungsi-fungsi Staf Kepresidenan yang tidak dikurangi.
Tobas juga mengingatkan Jokowi dan JK mesti tetap memegang prinsip ramping soal pembantunya. Jangan sampai, dengan alasan untuk mencapai target yang telah ditetapkan, Jokowi dan JK menambah lembaga atau orang-orang yang fungsinya tidak jelas atau tumpang tindih dengan lembaga yang sudah ada.
(hel)