Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hafid Abbas mengatakan jaminan atas kebebasan berpendapat terhadap napi politik asal Papua, Filep Karma, yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, merupakan langkah positif yang dilakukan pemerintah pusat.
Jaminan tersebut menandakan sebuah arus perubahan demokrasi dan luruhnya pendekatan sentralistik yang ditekankan pemerintah pada masa silam.
(Lihat Juga: Luhut Berikan Jaminan Kebebasan Berpendapat Bagi Filep Karma)
"Pernyataan Menkopolhukam punya nilai tambah citra positif pemerintah atas sodara kita di Papua. Hal itu memberikan makna penting bagi teman-teman di Papua bahwa pemerintah pusat tidak ada niat untuk mengabaikan hak politik masyarakat Papua," kata Hafid saat dihubungi CNN Indonesia, Rabu (19/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, Menkopolhukam menyatakan pihaknya akan memastikan napi politik Filep Karma mendapatkan kebebasan berpendapat.
Hal tersebut disampaikan Luhut menanggapi rencana Filep untuk menolak keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura karena tak bisa menyatakan opininya secara bebas dan dihargai.
(Lihat Juga: Tahanan Politik Filep Karma Tolak Ajukan Grasi ke Jokowi)
"Kalau dia tidak mau keluar tidak ada masalah. Namun, soal kebebasan berpendapat, saya kasih tahu sama dia, saya akan lindungi dia sepanjang ikuti aturan main," kata Luhut saat berada di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa (18/8) malam.
Sementara itu, Hafid mengatakan Filep tidak perlu khawatir akan terancamnya kebebasan berpendapat setelah dia keluar dari LP Abenpura. Kondisi di Papua saat ini jika dibandingkan dengan zaman waktu pertama kali Filep dijebloskan ke penjara sudah jauh berbeda.
"Indonesia berjalan menuju proses demokrasi yang matang. Ada perubahan dari era otoriter menuju era demokrasi yang terbuka dan ada jaminan kebebasan. Ini turut dirasakan oleh warga Papua juga. Tidak ada pembelengguan hak-hak politik mereka," kata dia.
Hafid mencontohkan mengenai era yang lebih terbuka di Papua, misalnya, pendekatan desentralistik yang dipakai pemerintah pusat dalam meneropong dan berkomunikasi dengan daerah Papua.
"Papua diberikan kewenangan dan otonomi luar biasa. Misalnya, tidak boleh ada bupati yang tidak keturunan Papua atau dibentuknya MRP atau Majelis Rakyat Papua," ujar mantan Dirjen Perlindungan HAM tersebut.
Lebih jauh, dia mengapresiasi upaya pemerintah untuk memberikan grasi terhadap sejumlah tahanan politik Papua pada awal Mei lalu. Grasi tersebut diberikan oleh Presiden Joko Widodo kepada lima tapol terkait gerakan Papua Merdeka yang ditahan di penjara Abepura.
(Baca Juga: Jokowi Bagi Grasi untuk Tahanan Politik di Papua)Pemberian grasi tersebut dinilainya bisa menjadi langkah penting untuk membenahi persoalan Papua. "Sodara kita di Papua mesti memahami bahwa pemikiran untuk bergerak ke arah separatisme merupakan romantisisme masa lampau," ujarnya.
Filep Karma, soerang pegawai negeri sipil dan pengajar di Papua, divonis penjara selama 15 tahun oleh Pengadilan Negeri Abepura pada 27 Oktober 2005 atas tuduhan makar karena mengibarkan bendera Bintang Kejora. Dia sempat banding namun kalah hingga di Mahkamah Agung.
(utd)