'Pasir Eurih, Rumah Kami Tak Lagi Aman'

Rinaldy Sofwan | CNN Indonesia
Selasa, 25 Agu 2015 10:48 WIB
Selama delapan generasi masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih mengalami banyak ancaman, termasuk berpindahnya pengelolaan hutan adat ke perusahaan.
Masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih menggelar pentas kesenian Angklung dan Lesung di Kabupaten Lebak, Banten, Rabu (12/8). (CNN Indonesia/ Rinaldy Sofwan)
Lebak, CNN Indonesia -- Maman Syahroni seketika menelan ludah ketika mendengar pertanyaan tentang konflik dengan aparat keamanan. Raut wajahnya tegang dan dia menjawab singkat,"tidak pernah ada konflik dengan aparat."

Pria berusia 28 tahun itu adalah keturunan pemimpin masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Banten. Abah Aden, yang saat ini memimpin, adalah paman angkat Maman. Abah adalah sebutan bagi pemimpin adat di daerah itu. (Lihat Juga: AMAN: Pidato Jokowi Tegaskan Komitmen Lindungi Masyarat Adat)

Yang dimaksud Maman adalah hingga saat ini masyarakat tidak pernah menemui masalah berarti dengan aparat keamanan, penjaga kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski begitu, bukan berarti kehidupan mereka lepas dari potensi konflik dengan aparat jika persoalan lahan mereka yang tumpang tindih, dicaplok menjadi kawasan TNG Halimun Salak tidak segera diselesaikan. (Baca Juga: Kementerian LHK Akui Kawasan Adat sebagai Hutan Hak)

Ketika pemerintah pusat, melalui Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa hutan mereka masuk ke dalam kawasan TNG Halimun Salak pada 2003 lalu, warga Kasepuhan mulai ketakutan. Mereka khawatir akan terjerat hukum jika memanfaatkan hasil hutan yang sudah bagai pekarangan rumah sendiri.

Maman mengatakan, sudah selama kurang lebih delapan generasi masyarakat adatnya tinggal di kawasan tersebut. Sebuah bangunan kayu tua berwarna putih dengan atap ijuk yang disebut paniisan menjadi buktinya.
Pemimpin adat Kasepuhan Pasir Eurih, Abah Aden, menandatangani peta wilayah adat di kediamannnya, Kabupaten Lebak, Banten, Rabu (12/8). (CNN Indonesia/ Rinaldy Sofwan)


Paniisan berasal dari kata bahasa Sunda, tiis, yang artinya dingin. Tempat berukuran sekitar 2 x 3 meter itu adalah tempat beribadah yang berada di halaman rumah Abah.

"Filosofinya menyejukkan hati," kata Maman.

Rumah kayu itu dibangun dari batang-batang kayu yang ia ambil di hutan. Meski masyarakat Kasepuhan mengambil kayu untuk keperluan rumah, namun mereka punya mekanisme adat tersendiri untuk melestarikan hutan. Salah satunya adalah dengan tebang pilih dan melarang penebangan kayu pada bulan-bulan tertentu.

Paniisan, tempat ritual nenek moyang masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih di Kabupaten Lebak, Banten, Rabu (12/8). (CNN Indonesia/ Rinaldy Sofwan Fakhrana)
Tanpa melibatkan warga sekitar, Kementerian Perhutanan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 175 Tahun 2003, memperluas kawasan Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan Salak, merenggut tempat tinggal masyarakat adat.

Selain khawatir akan berurusan dengan aparat, masyarakat juga resah jika suatu saat nanti pemerintah kembali mengubah fungsi dan status kawasan yang kini menjadi hutan negara.

"Misalnya kawasan Taman Nasional ke depannya bisa jadi perusahaan. Takut pemerintah menyerahkan pengelolaan hutan ini kepada pihak lain,” kata Maman.

Dia menceritakan, leluhurnya dulu telah menentukan kawasan-kawasan cadangan di sekitar hutan adat berdasarkan fungsinya. Bahkan, leluhur Kasepuhan telah memperkirakan kawasan-kawasan yang kelak akan menjadi sekolah.

"Dulu pernah ada orang ketiga yang memanfaatkan itu, disalahgunakan dan dijual. Dulunya sudah dibilang tempat itu akan jadi tempat bersuci malah jadi tempat beternak soang (angsa)," ujarnya.

Ratusan orang menjadi korban penyalahgunaan lahan itu. Alasannya, warga yang biasanya memanfaatkan lahan tersebut untuk bertani jadi tidak bisa menggunakannya. Pelakunya adalah orang luar masyarakat adat yang sempat dipercaya menjadi kepala desa di sana.

"Belum ada kejelasan tanahnya bagaimana. Ke depan kami perkirakan bakal ada kejadian yang, wah, soal ini," kata Maman.

Hingga kini status tanah itu masih menjadi sengketa. Pelakunya, kata Maman, telah menghilang entah ke mana.

Masyarakat khawatir kejadian yang sama akan terulang kembali. Rumah yang mestinya menjanjikan rasa aman justru membawa keresahan bagi mereka. Kini, harapan mereka hanya peraturan daerah yang dijanjikan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan rampung pada akhir tahun ini. (utd)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER