Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengungkapkan ada banyak alasan yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam setiap penggusuran. Namun, Pemprov DKI dinilai hanya menggunakan satu sistem untuk melancarkan penggusuran, yakni sistem paksa.
"Temuan yang cukup mengejutkan adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan pelaku terbanyak penggusuran paksa, yaitu berjumlah 21 kasus dengan jumlah korban mencapai 2484 KK dan 358 Unit Usaha," tulis LBH Jakarta dalam Laporan Penggusuran Paksa Di Wilayah DKI Jakarta Januari hingga Agustus 2015 yang diterima CNN Indonesia, Rabu (26/8).
Ironisnya, LBH Jakarta juga menemukan fakta lain bahwa 50 persen dari kasus-kasus penggusuran paksa meninggalkan warga dalam keadaan tanpa solusi, baik itu perihal relokasi ataupun ganti rugi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari 30 kasus penggusuran yang dilakukan sepanjang Januari hingga Agustus 2015, LBH menemukan program normalisasi dan penertiban menjadi alasan yang paling banyak digunakan oleh Pemprov DKI. Diprediksi, aksi penggusuran pun akan terus meningkat.
"Kami menemukan ada satu titik penggusuran paksa yang ditujukan untuk pembangunan waduk, 12 untuk normalisasi wilayah perairan, satu untuk taman kota dan enam belas untuk keperluan lainnya,"
Enam belas keperluan lain tersebut, dipaparkan LBH, penggusuran dilakukan di dua titik pembangunan proyek Tentara Nasional Indonesia (TNI), dua titik untuk proyek PT. Kereta Api Indonesia, satu titik untuk tol, dua titik untuk pelebaran jalan atau jalur hijau, tujuh titik untuk penertiban, pembebasan lahan dan keindahan, satu titik untuk proyek Mass Rapid Transportation (MRT), dan satu titik untuk proyek Kepolisian RI (Polri).
LBH Jakarta menyebut penggusuran menggunakan sistem paksa dikarenakan pada prosesnya Pemprov DKI tidak mengindahkan standar Hak Azasi Manusia, seperti melakukan proses musyawarah.
Dalam laporannya itu, dicantumkan juga bahwa dalam menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pemprov DKI mengganti sebutan penggusuran dengan frasa penertiban atau penataan lahan.
"Berdasarkan temuan kami, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendanai 21 kasus penggusuran, dengan Anggaran Pembelian dan Belanja Negara (APBN) tiga kasus, melalui perusahaan swasta tiga kasus, tiga kasus oleh Badan Usaha Milik Negara tiga kasus dan Lembaga Donor satu kasus," tulisnya.
Sebelumnya, pakar perkotaan dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna menilai penggusuran yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terhadap warga Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur, menyisakan banyak persoalan.
Yayat mengatakan langkah penggusuran yang tidak dibarengi dengan program pendampingan ekonomi bagi warga yang dipindah ke rumah susun memunculkan masalah baru.
Menurutnya, persoalan yang sebenarnya bukan pada warga yang menolak untuk direlokasi namun bagaimana keberlanjutan kehidupan di rumah susun terkait dengan masalah ekonomi.
“Apakah dengan tinggal di rusun warga bisa untuk berusaha. Apa ada program-program pendampingan dari Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja atau Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM),” ujar Yayat kepada CNN Indonesia, Ahad (23/8).
(meg)