Jakarta, CNN Indonesia -- Selama satu dekade, Imam Shamsi Ali menjadikan Islamic Cultural Center (ICC), masjid terbesar di New York, Amerika Serikat, sebagai tempatnya berdakwah. Dia menyebarkan paham demokrasi dan menentang ekstremisme. Selain itu, dia juga aktif mempromosikan keberagaman pada anggota dewan dan bahkan FBI (Federal Bureau of Investigation).
Di antara umat Islam Indonesia yang tinggal di Negeri Paman Sam, Shamsi dikenal sebagai salah seorang anggota dewan penasihat di organisasi-organisasi besar. Di antaranya adalah Indonesian Muslim Society in America dan Indonesian Muslim Intellectual Society in America.
Shamsi disebut sebagai sosok Muslim yang diharapkan komunitas liberal Amerika Serikat. Kota New York memilih putra kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, sebagai perwakilan komunitas Islam dalam gelaran antar agama memperingati peristiwa penyerangan Gedung World Trade Center yang dipimpin Presiden George W Bush.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia bahkan gemar mendengarkan musik rap walaupun umat Islam konservatif menganggap musik sebagai salah satu hal yang dilarang oleh agama. Dia juga tidak berkomentar banyak soal gambar karikatur Nabi Muhammad yang sempat memicu amarah umat Muslim belum lama ini.
"Islam adalah soal kedamaian. Islam adalah soal kemoderatan. Islam adalah soal pertemanan. Islam menentang segala macam kebencian," kata Shamsi dalam salah satu ceramahnya di ICC 2009 silam, sebagaimana dikutip
CNN, Minggu (6/9).
Walau demikian, tidak semua umat Muslim di New York menyukai Shamsi. Saat dia menyampaikan ceramahnya itu, sekelompok umat Muslim lain di luar masjid justru berdemonstrasi, menyatakan pertumpahan darah yang menewaskan tentara Amerika di Timur Tengah bisa diterima. Begitu pula serangan 11 September dan segala serangan terhadap Amerika.
Amerika, kata kelompok yang menamakan diri 'Revolution Muslim' itu, akan selalu menjadi target jika tidak mengubah sikapnya di dunia internasional.
Pada 2011, Shamsi meninggalkan masjid yang membesarkan namanya. Tidak banyak orang mengetahui peristiwa ini. Ada pihak yang menyebut Shamsi dipecat secara diam-diam. Ada pula yang menyebut Shamsi pergi secara sukarela.
Walau demikian, langkahnya menyebarkan paham Islam yang moderat tidak berhenti sampai di situ. Kini dia menjabat sebagai pemimpin Mesjid Al Hikmah di Astoria dan Direktur Jamaica Muslim Center di Queens. Dia juga menjadi Dewan Penasihat di organisasi-organisasi antar agama seperti Tanenbaum Center dan Federation for Middle East Peace.
Kontroversi di seputar anak ketiga dari enam bersaudara itu tidak berhenti di benua Amerika. Menyeberangi Samudera Pasifik, kembali ke negeri sendiri, belakangan dia kembali didera masalah.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Fadli Zon mengancam akan melayangkan somasi atas pernyataan Shamsi. Fadli menuduh Shamsi telah menyebarkan fitnah melalui tulisannya di akun jejaring sosial Facebook yang menyinggung pertemuan dengan kandidat Presiden Donald Trump.
“Saya sayangkan Ketua DPR bertemu dengan Donald Trump, apalagi dalam acara kampanyenya. Pertama sangat tidak etis karena posisinya sebagai ketua DPR. Ketua DPR mewakili negara. Dan negara tidak etis mendukung,” ujar Shamsi lewat laman Facebook-nya pada 3 September lalu.
Menanggapi itu, Fadli Zon meminta Shamsi mengoreksi pernyataannya, karena menganggap kehadirannya saat Trump melakukan konferensi pers hanya sebagai sopan santun orang timur.
“Ini bukan kampanye, tapi konferensi pers yang diadakan di gedungnya sendiri di Trump Plaza lobby. Di lobi itu sudah penuh wartawan dan para pegawainya. Sebagai sopan santun orang timur, kami nonton melihat sampai konferensi pers usai, pun jalanan ke pintu keluar padat dengan manusia,” kata Fadli Zon lewat pesan tertulis ke Shamsi, dikutip dari laman FB Shamsi, Sabtu (6/9).
(gir/gir)