Tak Becus soal Kahutla, Jokowi Diragukan Mampu Turunkan Emisi

Yohannie Linggasari | CNN Indonesia
Kamis, 17 Sep 2015 20:55 WIB
Kabut asap akibat karhutla dinilai Greenpeace sebagai kerugian sangat besar yang membuat rakyat Indonesia harus menderita selama belasan tahun.
Sejumlah petugas dari Manggala Agni BKSDA Kabupaten Lahat memadamkan kebakaran Hutan Suaka Marga Padang Sugihan, Desa Riding, Pangkalan Lampan, Kab Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel. Senin (14/9). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara Yuyun Indradi meragukan kemampuan pemerintahan di bawah Jokowi menurunkan emisi sebesar 29 persen sampai tahun 2030 bila melihat ketidakbecusan pemerintah dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

"Penurunan emisi itu masalah niat atau tidak niat. Sekarang saja karhutla masih terjadi berulang-ulang dan belum juga bisa dihentikan pemerintah," kata Yuyun saat konferensi pers di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Kamis (17/9).

Indonesia perlu menurunkan emisi karbon karena sepakat atas INDC (Intended Nationally Determined Contributions). INDC merupakan komitmen secara nasional dari berbagai negara mengenai seberapa besar kontribusi mereka dalam menangani perubahan iklim. Indonesia pada 2009 lalu menyatakan secara sukarela menurunkan emisi sebesar 26 persen dengan dana sendiri serta 41 persen dengan bantuan luar negeri, hingga 2020 mendatang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yuyun mengatakan titik api dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi, di mana jumlahnya ribuan. Pada 2011, jumlah titik api tercatat 5.700. Di tahun 2012, naik sedikit menjadi 5.800, yang kemudian menurun pada 2013 menjadi 5.774.

Pada 2014, titik api melonjak hampir dua kali lipat, yaitu menjadi 10.361 titik. Lalu pada 2015, sedikit mengalami penurunan menjadi 8.540.

Kabut asap akibat karhutla dinilai Yuyun sebagai kerugian yang sangat besar yang membuat rakyat Indonesia harus menderita selama belasan tahun. Tercatat sekitar 120 ribu masyarakat di tiga provinsi menderita infeksi saluran pernapasan akut saat karhutla pada 2014.

Sayangnya, kata Yuyun, penegakan hukum secara tegas dan tidak pandang bulu belum juga dilakukan pemerintah. "Pemerintah selalu menyatakan ada sekian perusahaan yang akan dihukum, namun dari pantauan kami baru satu yang masuk pengadilan yaitu PT AD yang berbasis di Malaysia," kata Yuyun.

Ada pula PT Calista yang akhirnya didenda dan dicabut izinnya setelah proses hukum berjalan tiga tahun. "Kami juga menyayangkan tidak adanya keterbukaan informasi terkait sejauh mana tindakan dan pembuktian pemerintah akan ucapannya sendiri," kata Yuyun.

Masyarakat Adat Minta Diakui dan Dilibatkan

Dalam draf Intended Nationally Determined Contributions (INDC), pemerintah Indonesia menetapkan penurunan emisi sebesar 29 persen sampai tahun 2030.

Aktivis dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Henky Satrio Wibowo mendesak agar pemerintahan Joko Widodo tegas mengakui kontribusi masyarakat adat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

"Kami juga mengkritik INDC yang mengingkari masyarakat adat sebagai indigenous peoples yang jelas bertentangan dengan putusan MK 35," katanya. Mahkamah Konstitusi memutuskan soal hutan adat bukan lagi hutan negara lewat Putusan Nomor 35/PUU-X/2012MK No. 35.

Henky mengatakan ada sekitar 24,6 juta hektare wilayah adat yang masih berhutan dan dapat terus dijaga. Selain itu, ada sekitar 30 juta hektare lagi yang dapat direhabilitasi.

"Jika INDC tetap mengingkari masyarakat adat sebagai indigenous peoples, maka pemerintah Indonesia tidak pantas mendapatkan manfaat dari kontribusi masyarakat adat dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim," katanya.

Ia berpendapat masyarakat adat berperan besar dalam menjaga hutan sehingga berkontribusi besar bagi penurunan emisi yang ditargetkan pemerintah.

Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) telah menerima peta wilayah adat sebesar 6,8 juta hektare, di mana sebanyak 4,7 hektare telah diproses kementerian untuk dilepaskan dari status hutan negara menjadi hutan hak masyarakat adat. (hel)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER