Jakarta, CNN Indonesia -- Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Tukirin mengatakan, ekosistem hutan tropik pada dasarnya tidak bisa terbakar secara alami, meski berada di daerah beriklim kering.
Namun menurutnya, pengelolaan hutan yang kurang tepat menyebabkan menurunnya kelembaban udara. Hal ini berakibat serasah dan material runtuhan di hutan menjadi kering dan menjadi pemicu kebakaran.
"Bahan-bahan runtuhan dan serasah tersebutlah yang memicu kebakaran di areal hutan tropik di Indonesia," kata Tukirin di Kantor LIPI, Jakarta, Kamis (17/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia merupakan negara tropik dengan sebagian besar kawasan memiliki iklim basah dengan curah hujan lebih dari 2.000 milimeter kubik per tahun. Curah hujan sebesar ini membuat hutan tropik di Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan kelembaban yang tinggi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, Tukirin menemukan dampak kebakaran berat dapat mematikan hampir seluruh pepohonan penyusun hutan lebih dari 80 persen. (Baca juga:
Polri Terjunkan 70 Penyidik Pembakaran Hutan)
"Untuk hutan rawa gambut umumnya akan mati secara keseluruhan, tidak ada pohon yang mampu bertahan pasca kebakaran apalagi kebakaran berulang akan memusnahkan seluruh jenis primer," ujar Tukirin.
Dia melanjutkan, jenis tumbuhan yang muncul setelah kebakaran adalah jenis tumbuhan pionir dan sekunder. Beberapa di antaranya seperti mahang, anggrung, terbalik angin, dan tumbuhan paku resam.
SIMAK FOKUS:
Derita Warga Dikepung Kabut AsapSedangkan pada habitat rawa gambut, pasca kebakaran hanya ditumbuhi oleh jenis paku-pakuan. "Tapi tidak ada tumbuhan berbunga yang mampu bertahan dan tumbuh setelah kebakaran," kata Tukirin.
Sementara itu, peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI Herman Hidayat menambahkan, kebakaran hutan bersumber dari lahan gambut yang seharusnya berfungsi untuk menyerap dan menyimpan air.
"Lahan Gambut sebenarnya tidak boleh digunakan oleh pengusaha untuk budidaya kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Idealnya peraturan ini dipatuhi karena sudah diatur oleh pemerintah," ucap Herman. (Baca juga:
Jokowi Masukkan Perusahaan Pembakar Lahan ke Daftar Hitam)
Dia mengatakan, lahan gambut dapat mudah terbakar apabila mengalami kekeringan dan cuaca panas. Dengan demikian pembakaran kecil dapat secara cepat menyebar. Herman menambahkan, lahan gambut memang dapat digunakan untuk industri dengan kedalaman penggunaan tanah tidak lebih dari tiga meter.
"Tapi pada praktiknya ditemukan lebih dari tiga meter lahan gambut dioperasionalkan untuk perkebunan kelapa sawit,
agroforestry, dan HTI," ujar Herman.
Dia mengatakan, kontrol dan pengawasan pemerintah masih sangat lemah. Misalnya, dalam mengawasi proses eksplorasi perusahaan serta tumpang tindih lahan yang ditengarai menjadi penyebab kebakaran hutan di Indonesia.
"Sebagai contoh, warga pendatang menggunakan lahan gambut yang telah ditinggalkan industri untuk berkebun dengan cara membakarnya. Inilah pemicu kebakaran hutannya," katanya.
Herman menilai perlu penegakan hukum yang tidak diskriminatif bagi pengusaha yang terlibat kebakaran hutan karena dampaknya yang sangat merugikan negara, termasuk pengawasan khusus terhadap pelaku penebangan liar, pendudukan lahan, dan deforestasi hutan Indonesia.
"Perlu koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengawasi pihak swasta yang telah diberikan izin untuk HTI dan perkebunan. Mereka harus bertanggungjawab pada titik api di masing-masing lahannya," kata Herman.
(sur)