Jakarta, CNN Indonesia -- Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menuntut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro untuk melaksanakan perintah Presiden Jokowi yakni membatalkan kenaikan tunjangan bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Manajer Advokasi dan Investigasi FITRA Apung Widadi menyebut kenaikan tunjangan ini tidak sesuai dengan kondisi ekonomi yang melemah dan kinerja DPR yang rendah.
"Presiden Jokowi secara tegas mengatakan malu dan menolak tunjangan pejabat dan DPR. Sehingga Menkeu sebagai pembantu Presiden harus membatalkan kenaikan gaji untuk DPR,” kata Apung dalan rilis yang diterima CNN Indonesia, Jumat (18/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apung menyebut bahwa Kementerian Keuangan telah menyetujui kenaikan tunjangan DPR sebesar 18 hingga 20 persen. Dalam hitungan FITRA, kenaikan itu akan membuat anggota DPR biasa akan mendapatkan
take homepay sebesar Rp 57 juta, untuk wakil ketua alat kelengkapan/komisi DPR Rp 59 juta dan untuk ketua komisi dan alat kelengkapan mencapai Rp 60,5 juta. Alokasi anggaran ini sudah terlanjur disetujui oleh Pemerintah yaitu Kemenkeu.
Apung menegaskan, meski telah disetujui Kemenkeu kenaikan tunjangan ini harus dibatalkan. Apung menyebut tunjangan ini diusulkan dengan cara diam-diam dan tidak transparan pada pembahasan APBN-P 2015, yaitu DPR periode 2014 hingga 2019 baru saja dilantik.
Apung menyebut ada kesengajaan menaikan dari awal tanpa memperhatikan hasil kinerja DPR selama ini. "Dalam hal ini, BURT dan Sekjen DPR paling bertanggungjawab sebagai pengusul kenaikan gaji dan tunjangan,” ujar Apung.
Apung pun mengungkapkan kenaikan tunjangan ini tidak pantas karena kinerja DPR masih rendah. Sejak dilantik sampai saat ini, DPR baru menghasilkan dua undang-undang yakni UU tentang APBN-P 2015 dan UU Pemilu.
Fraksi DPR yang menolak kenaikan tunjangan mendapat sorotan dari Apung. Menurutnya, DPR kini bermain di dua kaki. DPR mengaku menolak kenaikan tunjangan di media, tetapi diam-diam menerima kenaikan tunjangan itu. “DPR harus mengeluarkan pernyataan resmi menolak kenaikan tunjangan. Fraksi itu harus berjuang di banggar, jangan hanya bicara menolak lewat media,” tuturnya.
Menkeu Perlu Introspeksi RenumerasiApung menyebutkan, persoalan persetujuan kenaikan tunjangan DPR oleh Kemenkeu adalah awal Menkeu Bambang Brodjonegoro untuk melakukan introspeksi soal pemberian renumerasi. Kenaikan tunjangan DPR ini disebut Apung menunjukkan lemahnya Menkeu di bawah politisi DPR setelah sebelumnya juga takluk dalam menyetujui tunjangan mobil untuk DPR yang akhirnya dibatalkan Presiden. “Menkeu jangan obral renumerasi,” paparnya.
Dia mencontohkan, tahun ini ada tunjangan untuk pegawai pajak mencapai Rp 4,5 triliun. Kenaikan ini dilakukan saat target pajak belum tercapai hingga September ini. Bahkan Menkeu, sebut Apung, telah memproyeksikan target pajak itu tidak terpenuhi.
Dengan target pajak yang meleset tersebut, asumsi defisit negara mencapai Rp 270 triliun dari target awal hanya Rp 220 triliun. Untuk menutupi defisit, pemerintah melalui Menkeu telah menerbitkan surat utang dan menarik utang dari luar negeri dengan total senilai Rp 40 hingga 50 triliun. "Kemenkeu dan Kemenpan RB untuk mengevaluasi kenaikan tunjangan pejabat pajak yang tidak berhasil menaikan target pendapatan pajak,” katanya.
Jika tunjangan DPR akhirnya dinaikan, Apung menyebut akan menimbulkan parameter buruk bagi pemerintah untuk ramai-ramai ikut menaikan tunjangan. "Kecurigaan publik ini adalah bentuk tawaran transaksional kebijakan anggaran oleh Menkeu agar ketika pemerintah tunjangannya naik maka fungsi pengawasan DPR akan dilemahkan,” sebutnya.
Apung mengingatkan bahwa Presiden Jokowi telah secara tegas mengatakan malu dan menolak tunjangan pejabat dan DPR. Penghematan dan efisiensi anggara negara adalah bentuk implementasi ruh Nawacita Jokowi.
(hel)