Jakarta, CNN Indonesia -- Adnan Bahrum Nasution. Itu nama yang tercatat dalam akta kelahirannya. Ia lahir di Jakarta, 20 Juli 1934.
Nama “Buyung” bukanlah asma bawaan lahir lelaki pendiri Lembaga Bantuan Hukum Jakarta itu. Buyung adalah panggilan akrab bagi kerabat dan rekan semasa hidupnya. Namun nyaris sepenuh hidupnya, itulah nama yang publik kenal.
Dari berbagai sumber literatur, Buyung mempelopori banyak hal bagi republik ini. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Harian Kedaulatan Rakyat dan Kantor Berita ANTARA adalah beberapa hal yang pernah ia mulakan.
Buyung tak tumbuh dalam kondisi yang nyaman. Kala ia kecil hidupnya diliputi suasana perang gerilya merebut kemerdekaan. Ayahnya, Rachmat Nasution adalah seorang pejuang gerilya melawan Belanda.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buyung lantas berkembang menjadi sosok yang mandiri. Banyak yang merekam kisah soal dirinya berdagang barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Selain mandiri, Buyung muda juga dikenal aktif melawan. Saat duduk di bangku sekolah menengah, ia turut melakukan unjuk rasa terhadap rencana pendirian sekolah sekutu NICA di Yogyakarta.
Kehidupan lantas berpindah dari kota gudeg ke ibu kota. Saat menginjak sekolah menengah atas, Buyung bersekolah di SMA Negeri 1 Jakarta. Di sekolah itu ia aktif berorganisasi, hingga akhirnya menjabat Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), yang belakangan dibubarkan karena mengandung unsur komunis.
Buyung adalah seorang yang punya visi terhadap pendidikan. Lepas dari sekolah menengah atas, Buyung sempat terdaftar di beberapa universitas ternama. Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB), Fakultas Gabungan Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik di Universitas Gajah Mada, terakhir berpindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia. Namun hanya di UI kemudian Buyung menuntaskan perkuliahan hukumnya.
Lulus sebagai sarjana hukum, Buyung bekerja sebagai jaksa. Ia ditempatkan di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Namun dasar Buyung, meski bertitel jaksa ia tetap aktif dalam kegiatan politik. Hingga ia tercatat dan aktif dalam Komando Aksi Penggayangan Gestapu. Alhasil, lantaran aktivitasnya itu, Buyung yang sempat berunjuk rasa bersama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mendapatkan skorsing selama satu setengah tahun dari pekerjaannya. Lebih dari itu, ia kemudian ditugaskan beribu kilometer dari ibu kota.
Setelah setahun menganggur, Buyung kemudian mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan membuka kantor pengacara (advokat). Panjang jalan pendirian lembaga yang kini banyak mengadvokasi kalangan lemah. Ide awal ia sempat utarakan ke Kepala Kejaksaan Agung Soeparto. Namun mental saat itu.
Tak menyerah, ia coba jalan lain. Buyung lantas mendekati Ali Moertopo. Lewat sang tangan kanan Soeharto itu, gagasan Buyung disetujui pemerintah. Pada 28 Oktober 1970, lembaga itu berdiri. Buyung adalah ketua pertamanya. Sebanyak 10 skuter adalah modal pertama yang pemerintah berikan kepada LBH Jakarta.
Semasa Reformasi, Buyung berdiri di panggung berorasi dengan lantang. Ia adalah salah satu motor dan tokoh yang bersama-sama mahasiswa menuntut Presiden Soeharto -presiden yang telah memberinya 10 skuter- untuk mundur.
Buyung tak pernah berbicara pelan. Teriakannya selalu saja lantang. Bahkan, pada saat terakhirnya ia masih tetap ingin bicara dengan siapa saja. “Bapak bicara lewat tulisan, sebab mulutnya dipasangi ventilator. Ia gigih, sampai-sampai kami keluarganya diminta dokter keluar agar dia berhenti bicara dan berisitirahat,” ujar Pia Akbar Nasution, putri Buyung kepada CNN Indonesia, akhir pekan lalu.
Selasa pagi, kabar itu akhirnya beredar. Buyung wafat. Ia beristirahat. Selamat jalan Bang ‘Buyung’. Saya baru tahu itu bukan nama aslimu.
(sip)