Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat Agus Hermanto mengaku tak mengetahui bahwa koleganya sesama pimpinan DPR, Fahri Hamzah, telah berkirim surat ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Saya baru mendengar surat itu. Kami lihat nanti apakah surat resmi menggunakan kop dewan atau seperti apa. Kalau nanti beliau sudah pulang, akan kami klarifikasi," kata Agus di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/9).
Agus menjelaskan MKD memiliki indepedensi dalam menjalankan kerjanya. Ia juga berkata MKD diberikan kebebasan dalam artian menjaga koridor-koridor yang berlaku dan berhak memproses setiap anggota dewan.
Selain itu, Politisi Partai Demokrat itu yakin MKD akan bekerja secara transparan. Meski proses penanganan perkara atau sidang dilakukan tertutup, ia yakin hasil putusan yang dikenakan kepada anggota dewan, akan disampaikan ke publik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Prosesnya bisa saja sidang tertutup, tapi hasilnya disampaikan ke publik. Publik akan melakukan kontrol dan penilaian. Saya yakin MKD terbuka," ujar Agus.
Agus pun enggan menyebutkan surat yang dikirim Fahri ke MKD sebagai bentuk pelanggaran karena tidak melibatkan pimpinan lain. Ia lebih memilih menunggu Fahri yang saat ini tengah menunaikan ibadah haji, pulang ke Indonesia untuk diminta klarifikasinya.
Sementara itu, anggota MKD Syarifuddin Suding menilai surat yang dilayangkan Fahri merupakan bentuk intervensi Pimpinan DPR kepada MKD. Ia menyebut tidak ada kewenangan Pimpinan DPR untuk mengatur MKD karena bukan sebagai atasan.
"Pimpinan dewan bukan atasan MKD. Itu alat kelengkapan dewan yang sama di DPR. Jadi tidak ada kewenangan mengatur. Kalau hanya sebatas koordinasi oke," kata Suding, saat dihubungi, Rabu (23/9).
Suding menegaskan MKD tidak akan tunduk karena sudah memiliki tata tertib dan beracara. Proses perkara yang tengah ditangani, menurutnya akan berjalan seperti biasa.
Kamis (17/9) pekan lalu, Fahri Hamzah melayangkan surat ke MKD. Dalam surat tersebut pimpinan mengingatkan agar proses penanganan perkara dilaksanakan sesuai dengan tata cara pemeriksaan pelanggaran kode etik yang mengharuskan MKD dan sistem pendukungnya untuk menjaga kerahasiaan proses pemeriksaan.
Dengan merujuk Pasal 10 dan Pasal 15 Peraturan DPR RI Nomor 2 tahun 2015 tentang Tata Beracara MKD, pimpinan DPR tidak memperkenankan MKD mempublikasikan apapun sampai perkara tersebut diputus.
"Sehubungan dengan kerahasiaan proses penanganan perkara, pimpinan meminta perhatian MKD untuk tidak membuka perkara tersebut, baik secara individu maupun secara kelembagaan MKD kepada media massa dalam bentuk dan cara apapun," demikian bunyi penggalan isi surat tersebut.
(utd)