Prosedur Kartu Jakarta Pintar Tahap II Bebani Guru

Prima Gumilang | CNN Indonesia
Senin, 28 Sep 2015 12:33 WIB
Tak hanya harus memverifikasi siswa calon penerima KJP, pihak sekolah juga diminta untuk mengurus SKTM  para siswa dari kelurahan.
Tak hanya harus memverifikasi siswa calon penerima KJP, pihak sekolah juga diminta untuk mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu para siswa dari kelurahan. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala SMK Purnama 1, Jakarta Selatan, Hayatin, mengeluhkan proses penyaringan calon penerima Kartu Jakarta Pintar tahap dua. Dia menilai prosedur yang harus dilalui terlalu berbelit. Sementara pencairan KJP tahap pertama belum tentu diterima oleh anak didiknya.

"Yang pertama saja belum cair. Dengan susah payahnya kami masih diminta berkas-berkas yang kurang," katanya saat ditemui CNN Indonesia di ruang guru, Senin dua pekan lalu.

Pada tahap pertama, Hayatin mengatakan, ada kendala dalam prosedur di bank sehingga pencairan dana KJP tertunda. Persyaratannya dianggap terlalu banyak, seperti syarat dari bank untuk sekolah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Misalnya saja, sebagai sekolah swasta, sekolah harus memiliki registrasi yayasan dari Kementerian Sosial.  "Kami sudah dapat, tetapi harus yang terbaru. Kami harus memperbarui lagi ke sana," ujar Hayatin.

Sementara untuk tahap kedua, Kepala Tata Usaha SMK Purnama 1 Jakarta, Sofyan Iskandar, menilai bahwa proses pendaftaran terbilang cukup memberatkan guru. "Proses tahap kedua ini terlalu ribet banget. Tahap pertama kan input data sekali saja, selesai," katanya.

‎Proses seleksi tahap dua calon penerima KJS ini berlangsung selama satu bulan yakni sejak 25 Agustus hingga 25 September 2015. Kali ini, pihak sekolah yang melakukan proses input data secara online. Setelah mengunduh formulir terkait KJP, berkas tersebut diserahkan kepada siswa untuk diisi masing-masing.

Dari 180 siswa kelas I SMK Purnama 1, terdapat 120 berkas yang dibagikan kepada siswa. Lima di antaranya untuk kelas dua dan tiga yang sebelumnya tidak mendapatkan KJP.

Selanjutnya berkas tersebut dikumpulkan kembali ke pihak sekolah dengan menyertakan fotokopi kartu keluarga. Data pun diinput sebagai calon peserta penerima KJP.

"Yang sekolah di sini mayoritas perlu dibantu. Rata-rata ngontrak di wilayah banjir. Apalagi kalau musim banjir, hampir
separuhnya enggak bisa ke sekolah," kata Hayatin.

Dari catatan sekolah, mayoritas siswa di SMK Purnama 1 bertempat tinggal di wilayah Kampung Sawah dan Kampung Pulo, Jakarta Timur.

Tercatat ada 110 siswa yang datanya dinyatakan lengkap oleh sekolah. Sementara sisanya sepuluh anak tidak memenuhi persyaratan administrasi, lantaran nomor induk kependudukan dan nomor kartu keluarga tidak sesuai. Mereka yang tidak lolos diminta untuk mengurus nomor KK di Dapil masing-masing.

Selain menginput data, pihak sekolah juga melakukan verifikasi. Tim ini memotret rumah siswa untuk kemudian diunggah sebagai bukti.

Biasanya yang bertugas menjadi verifikator adalah guru wali kelas. Mereka datang ke rumah siswa untuk mengecek kondisi sosial ekonomi keluarga.

Hayatin mengakui, proses ini cukup memberatkan guru. Waktu yang tersisa untuk melakukan verifikasi sangat terbatas. Sebagai guru sekolah swasta, mereka tidak hanya mengajar di sekolah itu saja, tapi juga mengajar di sekolah lain untuk memperoleh tambahan penghasilan.

Bahkan di sekolah itu, tambah Hayatin, seringkali membayar honor guru dengan uang pinjaman. "Ini sangat berat buat kami. Untuk meninjau langsung ke rumah siswa itu sebetulnya sangat berat. Tapi karena ini suatu keharusan dalam peraturannya, yaitu verifikasi," katanya.

Pada akhirnya, peran mereka sebagai verifikatur kadang digantikan oleh pegawai humas atau kepala tata usaha. Bergantung kepada siapa yang memiliki banyak waktu luang.

Hayatin menjelaskan, yang menjadi pertimbangan sekolah saat melakukan verifikasi adalah kondisi rumah, penghasilan orangtua, jumlah tanggungan dalam keluarga.

Namun, pada umumnya, tim verifikator bisa menyimpulkan siswanya layak atau tidak menerima KJP ketika melihat kondisi rumah. "Banyak dari anak-anak kami yang kondisi rumahnya tidak layak, mereka ngontrak. Jadi antara dapur, ruang tamu, sama tempat tidur jadi satu. Itu yang kita foto," ujar Hayatin.

Hayatin juga melihat adanya perbedaan. Guru di sekolah swasta berbeda dengan sekolah negeri. Dia menduga sekolah negeri memperoleh tunjangan dan mendapat uang transportasi untuk melakukan verifikasi.  "Kami dari swasta banyak berkorban dari KJP ini, banyak berjuang supaya berhasil," katanya.

Tugas guru bukan hanya verifikasi. Mereka juga diminta untuk mengurus surat keterangan tidak mampu para siswa dari kelurahan.‎ Padahal pada tahap sebelumnya, SKTM diurus oleh masing-masing siswa. "Untuk meminta SKTM anak langsung ke kelurahan, sekarang dilimpahkan ke sekolah. Tambah kerjaan lagi buat kami," kata Kepala Tata Usaha, Sofyan Iskandar.

Pada dasarnya, pihak sekolah tidak mempermasalahkan hal itu selama pekerjaan tersebut untuk membantu meringankan ekonomi anak.  Menurut Hayatin, mayoritas keluarga siswa mereka berada di bawah standar ekonomi pada umumnya. "Paling dalam satu kelas yang mampu hanya lima," ujarnya.

Persoalan bukan hanya itu. Ketika data siswa telah diinput secara online sebanyak 110 anak, jumlahnya justru tidak sesuai harapan. Pihak operator hanya menyetujui 50 siswa.

‎"Kami mau tahu dulu apa penyebabnya yang 60 anak enggak muncul. Kami mau ke kelurahan, kenapa mereka tidak disetujui," kata Hayatin.

Padahal Hayatin telah merekomendasikan 110 anak, dengan input data yang sama. Bahkan 50 siswa tadi juga belum bisa dipastikan kejelasannya. Tergantung surat keputusan yang dikeluarkan.

"Kriterianya itu kami enggak jelas, dengan 110 anak itu sama datanya yang kita input semua. Tapi tiba-tiba begitu kami verifikasi yang muncul hanya 50 anak, dengan pertimbangan apa saya enggak ngerti," jelasnya.

Sofyan juga menyampaikan keluhan orang tua siswa. Untuk pembelanjaan, katanya, sulit sekali mencari barangnya. Sementara barang yang didapat tidak sesuai harapan.

"Sudah capek-capek antri, dapat barangnya kurang bagus, dengan harga barang yang lebih mahal dari umumnya. Itu keluhan orang tua sharing ke kita," ungkap Sofyan.

‎Ternyata apa yang dirasakan di SMK Purnama 1 juga dialami beberapa sekolah lain. Hayatin mengatakan, dalam perbincangan di dalam grup whatsapp, media komunikasi yang dibangun antar kepala sekolah, mereka juga mengeluhkan rumitnya prosedur untuk mendapatkan KJP.

"Sekolah lain, saya rasa sama saja, kalau keluhan di WA grup Kepsek mayoritas sama," ujarnya.

Hayatin berharap agar proses mendapatkan KJP hingga pencairan tidak melalui prosedur yang rumit. Orangtua siswa juga antusias dengan adanya KJP.

"Mereka juga membutuhkan, sehingga merasa terbantu. Hanya saja prosesnya itu saya rasa sulit prosedurnya. Sebetulnya kalau KJP ini lancar, sangat-sangat membantu," katanya. (meg/sip)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER