LIPUTAN KHUSUS

Kertas Semen Bekas dari Pulau Buru dan Karya Pramoedya

Suriyanto | CNN Indonesia
Rabu, 30 Sep 2015 17:10 WIB
Dalam masa pengasingan di Pulau Buru, sastrawan Pramoedya Ananta Toer memanfaatkan kertas semen untuk berkarya menulis naskah-naskah novelnya.
Tumiso, bekas tahanan Pulau Buru yang juga orang dekat sastrawan Pramoedya Ananta Toer. (CNN Indonesia/Suriyanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sastrawan Pramoedya Ananta Toer adalah satu dari ribuan tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru, Maluku. Namun meski terasing dengan segala keterbatasan, Pramoedya masih bisa menghasilkan sembilan karya sastra. Empat diantaranya adalah tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Di Pulau Buru, Pram menempati Unit III, unit pertama yang dibangun tentara untuk para tapol yang dituduh terlibat Gerakan 30 September. Unit ini merupakan unit khusus yang disediakan bagi para tapol yang susah diatur. Pram mendapat nomor baju 007. Teman akrab Pram yang juga anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Oey Hay Djoen mendapat nomor baju 001. Sama seperti Pram, Oey juga ditempatkan di Unit III.

Tapol yang juga menghuni Unit III adalah Tumiso, orang yang juga dikenal dekat dengan Pram. Menurut Tumiso, tiga tahun pertama di Buru, Pram sempat ikut bekerja sebagai kuli. Ia ikut membangun jalan penghubung antarunit, sama seperti tapol lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun lama kelamaan, Pram jarang bekerja fisik. Ia lebih banyak menulis di barak. 
Karena tak punya kertas, Pram menulis di atas kertas semen bekas. "Ada kertas semen bekas tentara membangun rumah komandan," kata Tumiso kepada CNN Indonesia.

Untuk pulpennya, Pram meminta pada petugas rohaniawan Katholik yang secara berkala berkunjung ke Buru untuk memberikan bimbingan. Pada 1973, Pram mendapat bantuan mesin tik lengkap dengan kertas dan pita tiknya. Pemerintah menurut Tumiso kala itu memfasilitasi barang-barang itu karena desakan dunia internasional.

Dunia saat itu tahu sastrawan besar tersebut ditahan pemerintah di Pulau Buru. Pemberian mesin tik menjadi dalih pemerintah bahwa tak ada penahanan terhadap Pram yang disebut masih bisa mengarang di sana.

"Padahal sama saja kan, boleh mengarang tapi karyanya tak bisa disebarluaskan," kata Tumiso. Belakangan naskah karya Pram itu berhasil diselundupkan Tumiso keluar Buru sehingga bisa dicetak dibaca banyak orang.

Kertas yang diberi pemerintah terbatas. Pram tak bisa mengandalkan jatah kertas tersebut. Untuk mengakalinya, para tahanan yang lain mencari cara. Salah satunya dengan membeli kertas dari luar Buru. Uangnya dari menjual hasil kerajinan yang dibuat. 
"Kalau diminta membuat kursi tiga, kami buat empat, yang satu dijual," kata Tumiso. Semua dilakukan agar Pram bisa menyelesaikan karyanya meski terasing di Pulau Buru.

Tumiso mencatat setidaknya ada 10 karya yang dihasilkan Pram semasa di Buru. Selain tetralogi, Pram juga menulis Arus Balik, Arok Dedes, Mangir, Ensiklopedi Citra Indonesia, dan Mata Pusaran. Namun naskah Mata Pusaran menurut Tumiso hilang dan tak sempat diterbitkan.

Satu lagi karya Pram namun Tumiso lupa judulnya. "Isinya soal perlawanan zaman Daendels, tapi tidak dibukukan hanya diceritakan," kata Tumiso.

Tumiso mengaku mengenal Pram sejak tahun 1964. Saat itu tengah digelar Kongres Serikat Buruh Film dan Seni Drama (Sarbufis) di Surabaya. Karena minimnya dana, peserta kongres saat itu diinapkan di rumah-rumah rekan dan kenalan.
Tumiso kebagian untuk memberikan tumpangan pada Pram. Karena sudah kenal sejak 1964, maka begitu bertemu di Pulau Buru, hubungan perkawanan tersebut berlanjut.

Selain teman dekat, Tumiso merupakan salah satu orang yang memberikan masukan pada karya-karya Pram. Bekas guru yang kerap memberikan pembelaan pada buruh tani di Surabaya ini paham benar soal agraria dan aksi kaum tani.

Pram bersama Tumiso dan Oey Hay Djoen dibebaskan berbarengan pada Desember 1979. Bersama beberapa orang tapol yang lain, ketiganya tak langsung bebas karena kembali harus ditahan selama sebulan di Magelang dan Semarang.

Pram meninggal dunia pada 30 April 2006 pada usia 81 tahun. Sementara Oey Hay Djoen meninggal dua tahun sesudahnya pada 18 Mei 2008 pada usia 79 tahun. Tumiso sendiri saat ini berusia 75 tahun. Di usia senjanya, Tumiso masih aktif mengurusi panti jompo di daerah Kramat, Jakarta Pusat. Panti Jompo tersebut dikelola oleh Ribka Tjiptaning Proletariati anggota DPR yang juga anak seorang anggota Partai Komunis Indonesia. (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER