Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang menggodok mekanisme baru untuk pemilihan kepala daerah di daerah-daerah dengan calon tunggal. Komisioner KPU Juri Ardiantoro, Selasa (6/10), mengatakan pihaknya masih menunggu pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mematangkan mekanisme tersebut.
Selain itu, kata Juri, pihaknya juga akan mengundang ahli-ahli yang berpengalaman soal Pemilu. "Karena jumlah calon berbeda, maka KPU harus mengubah mekanismenya," kata Juri dalam seminar tentang Pilkada di Jakarta.
Dia menjelaskan perubahan itu akan mencakup proses penetapan calon, cara kampanye, pemilihan, dan penetapan hasil berdasarkan hasil rekapitulasi suara. Tak hanya itu proses penyelesaian sengketa pun akan diatur dengan mekanisme baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini ada tiga daerah yang memiliki calon kepala daerah tunggal. Di antaranya adalah Kabupaten Blitar, Jawa Timur; Tasikmalaya, Jawa Barat; dan Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Daerah-daerah itu kini bisa mengikuti pesta demokrasi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan calon tunggal diperbolehkan untuk mengikuti Pilkada.
MK menyatakan manifestasi kontestasi Pilkada lebih tepat dipadankan dengan pemungutan dengan cara "setuju atau "tidak setuju" dalam surat suara yang didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan rakyat untuk menentukan pilihan.
Mekanisme tersebut akan menetapkan kepala daerah terpilih bila suara terbanyak adalah "setuju". Sedangkan apabila pilihan "tidak setuju" memperoleh suara terbanyak, maka pemilihan ditunda sampai Pilkada serentak berikutnya.
MK menilai, mekanisme tersebut dinilai tidak bertentangan dengan konstitusi. Sebab, bila nantinya Pilkada harus dilaksanakan pada periode selanjutnya, pada dasarnya penundaan tersebut merupakan keputusan rakyat melalui pemberian suara "tidak setuju" tersebut.
Anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan menilai putusan tersebut bukan putusan luar biasa. Di samping tidak ada terobosan hukum putusan MK dianggap masih menyisakan permasalahan.
Terkait teknis pemilihan yang dilakukan dengan mekanisme setuju atau tidak setuju, Arteria tidak menpersoalkan hal itu dengan catatan tidak dilakukan secara "open clause". "Yang jadi persoalan di sini, kalau banyak pemilih yang tidak setuju maka Pilkada tersebut harus ditunda ke periode selanjutnya. Artinya ini tetap tidak solutif," kata Arteria saat dihubungi Selasa (29/9).
Politikus PDIP itu menyatakan seharusnya dicarikan rumusan yang memberikan kepastian hukum di mana dalam situasi terburuk sekalipun akan terlahir pemimpin hasil Pilkada serentak tanpa menunggu Februari 2017.
(bag)