Jakarta, CNN Indonesia -- Deputy Direktur Kampanye Regional Asia Tenggara dan Pasifik Amnesty International Josef Roy Benedict menilai ada pelanggaran hukum internasional yang terjadi jika pemerintah terus mengeksekusi para terpidana mati.
"Dalam hukum internasional, para terpidana memiliki hak untuk mengajukan grasi atau pengampunan kepada presiden dengan harapan adanya pertimbangan yang dilakukan," kata Josef dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (15/10).
Ia mempermasalahkan pernyataan Presiden Joko Widodo yang akan menolak seluruh pengajuan grasi dari para terpidana mati kasus narkoba. Josef juga mempermasalahkan pernyataan Jokowi bahwa eksekusi mati kasus narkoba bisa memberikan efek jera.
"Tak ada bukti hukuman mati memberi efek lebih besar dibandingkan hukuman lain (dalam kasus narkoba)," ujar Josef.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Jokowi seperti ingin menunjukan ketegasannya dengan cara yang keliru.
Pernyataan serupa diutarakan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Putri Kanisia. Menurutnya yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak ada artinya karena hukuman mati hanya diberikan kepada para kurir narkoba dan bukan bos besar pengedar narkotik.
"Eksekusi terhadap kurir hanya memutus mata rantai antara produsen dan pengedar, tidak menghilangkan peredarannya," kata Putri.
Sementara itu Jaksa Agung M Prasetyo menilai hukuman mati dilindungi konstitusi dan sesuai hukum positif di Indonesia."Hukum positif masih menyebutkan hukuman mati dan kami harus tegakkan itu," kata Prasetyo.
Dalam Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika diatur bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan kepada produsen dan pengedar narkoba. Para koruptor juga dapat dhukum mati jika terbukti menyelewengkan uang penanganan bencana alam, konflik sosial, dan apabila melakukan pengulangan tindak pidana korupsi, seperti dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2001.
(sur)